Monday, April 14, 2008

Jalan Rata Untuk Berjaya

Di pagi hari buta, kelihatan seorang pemuda dengan bungkusan kain berisi bekal di pinggangnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke puncak gunung yang terkenal. Kononnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah layaknya berada di syurga. Sesampai di lereng gunung, terlihat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang lelaki tua.

Setelah menyapa pemilik rumah, pemuda mengutarakan maksudnya "Tok, saya ingin mendaki gunung ini. Tolong tok, tunjukkan jalan yang paling mudah untuk sampai ke puncak gunung".

Si lelaki tua dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari ke hadapan pemuda.

"Ada 3 jalan menuju puncak, kamu boleh memilih sebelah kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Kalau saya memilih sebelah kiri?"

"Sebelah kiri melewati banyak kawasan berbatu."

Setelah bersalaman dan mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya. Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat kembali di depan pintu rumah si lelaki tua.

"Tok, saya tidak sanggup melewati kawasan berbatu. Jalan sebelah mana lagi yang harus aku lewati tok?"

Si lelaki tua dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya menjawab, "Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Jika aku memilih jalan sebelah kanan?"

"Sebelah kanan banyak semak berduri."

Setelah beristirahat sejenak, si pemuda berangkat kembali mendaki. Selang beberapa jam kemudian, dia kembali lagi ke rumah si lelaki tua.

Dengan kelelahan si pemuda berkata, "Tok, aku sungguh-sungguh ingin mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah aku tempuh, rasanya aku tetap berputar-putar di tempat yang sama sehingga aku tidak berjaya mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan harus kembali ke mari tanpa hasil yang kuinginkan, tolong tok tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar aku berhasil mendaki hingga ke puncak gunung."

Si lelaki tua serius mendengarkan keluhan si pemuda, sambil menatap tajam dia berkata tegas *"Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan yang buntu pun harus kamu hadapi. Selagi keinginanmu untuk mencapai puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua halangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu seperti yang kamu inginkan! dan nikmatilah pemandangan yang luar biasa !!! Apakah kamu mengerti?"*

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan lelaki tua, sambil tersenyum gembira dia menjawab "Saya mengerti tok, saya mengerti! Terima kasih tok! Saya akan menghadapi selangkah demi selangkah setiap rintangan dan halangan yang ada! Tekad saya makin mantap untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini. *

Dengan senyum puas si lelaki tua berkata, "Anak muda, Aku percaya kamu pasti boleh mencapai puncak gunung itu! Selamat berjuang!!! *

MORAL KISAH INI:

Tidak ada jalan yang rata untuk berjaya!

Sama seperti analogi proses pencapaian mendaki gunung tadi. Untuk meraih kejayaan seperti yang kita inginkan, tidak ada jalan rata! tidak ada jalan pintas!

Ada ketikanya, rintangan, kesulitan dan kegagalan selalu datang menghalang. Kalau mental kita lemah, takut halangan , tidak yakin pada diri sendiri, maka apa yang kita inginkan pasti akan kandas ditengah jalan.

Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, mempunyai komitmen untuk tetap berjuang, barulah kita boleh menapak di puncak kejayaan.

Kemujuran Atau Kemalangan?

Ada sebuah cerita Cina kuno tentang seorang lelaki tua yang sikapnya dalam memandang kehidupan berbeza sama sekali dengan orang-orang lain di desanya.

Rupanya laki-laki tua ini hanya mempunyai seekor kuda, dan pada suatu hari kudanya hilang. Para jirannya datang dan menaruh belas kasihan kepadanya, mengatakan kepadanya betapa mereka ikut sedih kerana kemalangan yang menimpanya.

Jawabannya membuat mereka hairan.

"Tapi bagaimana kalian tahu itu kemalangan?" dia bertanya.

Beberapa hari kemudian kudanya pulang, dan ikut bersamanya dua ekor kuda liar. Sekarang si laki-laki tua punya tiga ekor kuda. Kali ini, para jirannya mengucapkan selamat atas kemujurannya.

"Tapi bagaimana kalian tahu itu kemujuran?" dia menjawab.

Pada hari berikutnya, sementara sedang berusaha menjinakkan salah seekor kuda liar, anak lelakinya jatuh dan kakinya patah.

Sekali lagi, para jiran datang, kali ini untuk menghibur si laki-laki tua kerana kecelakaan yang menimpa anaknya.

"Tapi bagaimana kalian tahu itu kemalangan?" dia bertanya.

Kali ini, semua tetangganya menarik kesimpulan bahawa fikiran si tua ini kacau dan tidak ingin lagi berurusan dengannya.

Walaupun demikian, keesokan harinya penguasa perang datang ke desa dan mengambil semua lelaki yang sihat untuk dibawa ke medan pertempuran. Tetapi anak si lelaki tua tidak ikut diambil, sebab tubuhnya tidak sihat!

MORAL KISAH INI:

Kita semua akan menghayati kehidupan yang lebih tenang jika kita tidak terlalu tergesa-gesa memberikan penilaian kepada peristiwa yang terjadi. Bahkan apa yang paling kita benci, dan yang masih menimbulkan reaksi negatif kalau terfikirkan oleh kita, mungkin memainkan peranan positif dalam hidup kita

Sang Alkemi

Pernahkah anda mendengar istilah Alkemi? Alkemi dikenali sebagai sebuah ilmu yang mampu mengubah besi menjadi emas. Dalam banyak-banyak kisah, beberapa orang menganggapnya sebagai sebuah sihir belaka, tetapi yang lain percaya bahawa ilmu itu benar-benar ada. Dan, siapa yang tak tergiur untuk boleh menguasai ilmu alkemi? Hanya dengan kemampuan alkemi, ia boleh mengubah besi menjadi emas dan tentu menjadi kaya-raya.

Alkisah, di sebuah negara di Timur ada seorang Raja yang hendak mencari orang yang benar-benar mengerti tentang alkemi. Sudah banyak orang datang pada Raja, tetapi ketika diuji, mereka ternyata tidak mampu mengubah besi menjadi emas.

Suatu ketika seorang menteri berkata pada Raja bahawa di sebuah desa terdapat seseorang yang hidup sederhana dan bersahaja. Orang-orang di sana mengatakan bahwa ia menguasai ilmu alkemi. Segera saja Raja mengirimkan utusan untuk memanggil orang itu. Sesampainya di istana, Raja mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu alkemi. Raja akan memberikan apa yang diminta oleh orang itu.

Tetapi apa jawab orang desa itu, "Tidak. Saya tidak mengetahui sedikit pun ilmu yang Baginda maksudkan."

Raja berkata, "Setiap orang memberitahu aku bahawa engkau mengetahui ilmu itu."

"Tidak, Baginda," jawabnya berkeras. "Baginda mendapatkan orang yang keliru."

Raja mulai murka dan mengancam.

"Dengarkan baik-baik!" kata Raja. "Bila kau tak mau mengajariku ilmu itu, aku akan memenjarakanmu seumur hidup."

"Apa pun yang Baginda hendak lakukan, lakukanlah. Baginda mendapatkan orang yang keliru"

"Baiklah. Aku memberimu waktu enam minggu untuk memikirkannya. Dan, selama itu kau akan dipenjara. Jika pada akhir minggu ke enam kau masih berkeras hati, aku akan memenggal kepalamu."

Akhirnya orang itu dimasukkan ke dalam penjara. Setiap pagi Raja datang ke penjara dan bertanya, "Apakah kau telah berubah fikiran? Maukah kau mengajariku alkemi? Kematianmu sudah dekat, berhati-hatilah. Ajarkan aku pengetahuan itu."

Orang itu selalu menjawab, "Tidak Baginda. Carilah orang lain. Carilah orang lain yang memiliki apa yang Baginda inginkan, saya bukanlah orang yang Baginda cari."

Setiap malam ada seorang pelayan yang melayani orang itu dalam penjara.

Pelayan itu berkata bahwa Raja mengirimnya untuk melayani orang itu sebaik-baiknya. Pelayan itu menyapu lantai serta membersihkan ruangan penjara itu. Pelayan itu juga selalu menghantarkan makanan dan minuman untuk orang itu, memberikan simpati kepadanya, melakukan apa saja yang diminta oleh orang itu, dan bekerja apa saja selayaknya seorang pelayan.

Pelayan itu selalu menanyakan, "Apakah anda sakit? Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk anda? Apakah anda lelah? Bolehkah saya membersihkan tempat tidur anda? Mahukah anda bila saya mengipaskan anda hingga anda tertidur, udara di sini panas sekali."

Dan, segala sesuatu yang pelayan itu boleh lakukan, maka ia lakukan saat itu juga.

Hari terus belalu. Dan, kini tinggal satu hari lagi sebelum kepala orang itu dipenggal.

Pagi hari Raja mengunjungi dan berkata, "Waktumu tinggal sehari. Ini kesempatan bagimu untuk menyelamatkan nyawamu sendiri."

Tetapi orang itu tetap saja berkata, "Tidak Baginda. Yang Baginda cari bukanlah hamba."

Pada malam hari, sebagaimana biasa pelayan itu datang. Orang itu memanggil pelayan itu untuk duduk dekat dirinya kemudian diletakkan tangannya di bahu pelayan itu dan berkata, "Wahai orang yang malang. Wahai pelayan yang malang. Engkau telah berlaku sunguh baik terhadap diriku. Kini aku akan membisikkan di telingamu sebuah kata tentang alkemi. Sebuah kata yang akan membuatmu mampu mengubah besi menjadi emas."

Pelayan itu berkata, "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan dengan alkemi. Saya hanya ingin melayani anda. Saya sungguh sedih bahawa besok anda akan dihukum mati. Itu sungguh mengoyak hatiku. Saya harap saya boleh memberikan jiwa saya untuk menyelamatkan anda. Seandainya saya boleh, sungguh saya sangat bersyukur."

Sang alkemi menjawab, "Lebih baik aku mati daripada memberikan ilmu alkemi ini kepada orang yang tidak layak menerimanya. Ilmu yang baru saja aku berikan kepadamu dalam simpati, dalam penghargaan, dan dalam cinta, tak akan kuberikan kepada Raja yang akan mengambil nyawaku besok. Mengapa demikian? Karena engkau patut menerimanya, sedangkan Raja itu tidak."

Esok harinya, Raja memanggil sang alkemi dan memberikan peringatan terakhir.

"Ini adalah kesempatan terakhirmu. Kau harus mengajarku ilmu alkemi, jika tidak lehermu harus dipenggal."

Sang alkemi menjawab, "Tidak Baginda, anda mendapatkan orang yang keliru."

Raja pun, "Baiklah. Aku putuskan kau untuk bebas, kerana kau telah memberikan alkemi itu padaku."

Sang alkemi keheranan, "Kepadamu? Saya tidak memberikannya pada Baginda Raja. Saya telah memberikannya pada seorang pelayan."

"Tahukah kau, bahawa orang yang melayanimu setiap malam adalah aku," jawab sang Raja.

Renungan Editor:

Banyak orang menginginkan emas dalam hidupnya dengan mempelajari alkemi. Tetapi saat ia mencapai tujuannya, bukan emas yang ia temukan, justeru ia sendiri menjadi emas itu.

Diadaptasi dari: Hazrat Inayat Khan

Sumber: Spiritual Dimensions of Psychology

Sungai Di Padang Pasir

Dari mata airnya yang nun jauh di atas gunung, sebatang sungai mengalir melewati segala halangan di tebing dan akhirnya sampai ke sebuah padang pasir. Selama ini ia telah berjaya mengatasi seluruh halangan dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera lenyap ditelan pasir.

Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak boleh mengatasi masalahnya

Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin boleh menyeberangi pasir, Sungai pun boleh."

Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cuba menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap: angin boleh terbang, dan oleh sebab itulah ia boleh menyeberangi padang pasir.

"Dengan menyeberang seperti yang kau lakukan itu, jelas kau tak akan berjaya. Kau hanya akan lenyap atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilakan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ke tempat tujuan."

Tetapi bagaimana caranya?

"Dengan membiarkan dirimu diserap oleh angin."

Gagasan itu tidak boleh diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah terserap. Ia tidak mahu kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah boleh dipastikan dirinya akan muncul kembali?

"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas seperti itu. Ia membawa air, membawanya terbang menyeberangi padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma sungai."

"Bagaimana aku boleh yakin bahawa itu benar?"

"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun malah berpuluh-puluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?"

"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama seperti keadaanku kini?"

"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan boleh sentiasa berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian intimu dibawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."

Mendengar hal itu, dalam fikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bahagian dirinya? --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar demikiankah? bahawa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.

Dan sungai itu pun membubungkan wapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan kerana pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini boleh mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."

Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke gunung."

Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di atas Pasir.

Catatan

Kisah indah ini masih beredar dalam tradisi lisan dalam pelbagai bahasa, hampir selalu terdengar di kalangan para darwis dan murid-muridnya.

Kisah ini dicantumkan oleh Sir Fairfax Cartwright dalam bukunya, Mystic Rose from the Garden of the King 'Mawar Mistik dari Taman Raja' terbit tahun 1899. Versi ini berasal dari Awad Afifi, orang Tunisia, yang meninggal tahun 1870.

Jejak Langkah-langkah Anda

Banyak orang masuk ke dalam kehidupan kita, satu demi satu datang dan pergi silih berganti. Ada yang tinggal untuk sementara waktu dan meninggalkan jejak-jejak di dalam hati kita dan tak sedikit yang membuat diri kita berubah.

Alkisah seorang tukang lentera di sebuah desa kecil, setiap petang lelaki tua ini berkeliling membawa sebuah tongkat obor penyuluh lentera dan memikul sebuah tangga kecil. Dia berjalan mengelilingi desa menuju ke tiang lentera dan menyandarkan tangganya pada tiang lentera, naik dan menyuluh sumbu dalam kotak kaca lentera itu hingga menyala lalu turun, kemudian dia pikul tangganya lagi dan berjalan menuju tiang lentera berikutnya. Begitu seterusnya dari satu tiang ke tiang berikutnya, makin jauh lelaki tua itu berjalan dan makin jauh dari pandangan kita hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam. Namun demikian, bagi siapa pun yang melihatnya akan selalu tahu kemana arah perginya pak tua itu dari lentera-lentera yang dinyalakannya.

Penghargaan tertinggi adalah menjalani kehidupan sedemikian rupa sehingga mendapatkan ucapan: “Saya selalu tahu kemana arah perginya dari jejak-jejak yang ditinggalkannya. ”

Seperti halnya perjalanan si lelaki tua dari satu lentera ke lentera berikutnya, kemana pun kita pergi akan meninggalkan jejak. Tujuan yang jelas dan besarnya rasa tanggung jawab kita adalah jejak-jejak yang ingin diikuti oleh putera puteri kita dan dalam prosesnya akan membuat orang tua kita bangga akan jejak yang pernah mereka tinggalkan bagi kita.

Tinggalkanlah jejak yang bermakna, maka bukan saja kehidupan anda yang akan menjadi lebih baik tapi juga kehidupan mereka yang mengikutinya.

Emas Atau Loyang

Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang termasyhur bernama Zun-Nun.

Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, "Guru, saya belum faham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian seadanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman ini berpakaian cantik amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak hal lain."

Sang sufi hanya tersenyum, dia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Orang muda, akan ku jawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cubalah, bolehkah kamu menjualnya dengan harga satu keping emas."

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini boleh dijual seharga itu."

"Cubalah dulu orang muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Dia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada pedagang-pedagang yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli dengan harga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak.

Ia kembali berjumpa Zun-Nun dan melaporkan, "Guru, tak seorang pun yang berani menawarkan lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke kedai emas di belakang jalan ini. Cuba tunjukkan kepada pemilik kedai atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana dia memberikan penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke kedai emas yang dimaksudkan. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melaporkan, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sebenarnya cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil menerangkan, "Itulah jawapan atas pertanyaanmu tadi wahai orang muda. Seseorang tak boleh dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas". Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya boleh dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke dalam jiwanya, diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu memerlukan usaha dan masa wahai orang mudaku. Kita tak boleh menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

Daun Di Musim Luruh

Pada suatu pagi hari di sebuah musim luruh, seorang anak bekerja menyapu halaman luar sebuah asrama. Pohon-pohon yang rendang di sekitar situ berguguran daunnya. Walaupun bekerja dengan rajin dan teliti menyapu dedaun yang gugur, halaman masih dikotori dengan ranting dan daun.

"Aduh penatnya. Biarpun menyapu dengan tekun setiap hari tentu saja esok kotor lagi. Bagaimana caranya ya supaya aku tidak harus bekerja terlalu keras setiap hari?" sambil masih memegang penyapu, si anak sibuk memutar otak memikirkan cara yang terbaik.

Warden asrama yang melintas di situ menghampiri dan menyapa, "Selamat pagi Anakku, kenapa kamu mengelamun? Apakah yang sedang kamu fikirkan?"

"Eh, selamat pagi Pakcik. Saya sedang berfikir mencari jalan supaya halaman ini tetap bersih tanpa harus menyapunya setiap hari. Dengan begitu kan saya boleh mengerjakan yang lain dan tidak harus selalu menyapu seperti sekarang ini."

Sambil tersenyum si warden asrama menjawab, "Bagaimana kalau kamu cuba menggoyangkan setiap pohon agar daunnya jatuh lebih banyak. Siapa tahu, dengan lebih banyak daun yang gugur, paling tidak besok daunnya tidak mengotori halaman dan kamu tidak perlu menyapu."

"Wah idea Pakcik hebat sekali!" segera dia berlari ke batang pohon dan menggoyang-goyangkan sekuat tenaga. Semua pohon diperlakukan sama, dengan harapan, setidaknya besok dia tidak perlu menyapu lagi.

"Boleh berehat satu hari tidak bekerja," katanya dalam hati dengan gembira.

Malam hari si anak pun tidur dengan nyenyak dan puas. Ketika bangun keesokan harinya, cepat-cepat dia berlari keluar kamar. Seketika harapannya berubah kecewa apabila melihat halaman yang bersih kembali dipenuhi dengan daun-daun.

Saat itu pula si warden sedang ada di luar dan memperhatikan tingkahlakunya sambil berkata, "Anakku, musim gugur adalah fenomena alam. Bagaimanapun kamu hari ini bekerja keras menyapu daun- daun yang gugur, esok hari akan tetap ada daun-daun yang gugur untuk di bersihkan. Kita tidak boleh mengubah alam supaya sesuai dengan kemahuan kita. Daun yang harus gugur, tidak boleh ditahan atau dipaksa gugur. Maka jangan kecewa kerana harus bekerja setiap hari. Nikmati pekerjaanmu dengan hati yang senang, setuju?" kata si warden asrama memberikan sebuah pelajaran hidup yang begitu bererti.

"Setuju pakcik. Terima kasih atas pelajarannya, " segera dia berlari menghampiri penyapunya.

MORAL KISAH INI:

Pembaca yang budiman,

Kalau kita bekerja dengan keadaan hati yang tidak gembira, maka semua pekerjaan yang kita lakukan akan terasa berat dan mudah timbul perasaan bosan.

Pepatah mandarin mengatakan:

Jin tian de shi qing jin tian zuo, Ming tian hai you xin gong zuo. (Selesaikan pekerjaan hari ini dengan baik, esok masih ada pekerjaan baru yang harus diselesaikan).

Kalau kita telah mampu menikmati setiap pekerjaan dengan penuh kesedaran dan tanggungjawab, maka setiap hari ini pasti menjadi hari kerja yang membahagiakan dan setiap hari esok menjadi harapan yang diimpikan, sehingga kita boleh dengan bangga mengatakan bahawa bekerja adalah ibadah...

Sumber: Daun Di Musim Gugur oleh Andrie Wongso

Pawang Ular Dan Ular Sawa

Alkisah, seorang pawang ular ternama pergi ke sebuah daerah pergunungan untuk menangkap ular dengan kepakarannya. Saat itu, salji turun dengan sangat lebat. Pawang itu pun mencari ke setiap sudut gunung untuk menemukan ular yang besar. Setelah beberapa lama, akhirnya dia menemukan bangkai ular sawa yang sangat besar.

Pawang itu amat gembira dan dia ingin membanggakan hasil tangkapannya di hadapan seluruh penduduk kota. Dia membungkus ular sawa itu dan membawanya ke kota Baghdad untuk dipertontonkan. Turunlah dia dari gunung dengan menyeret ular sawa sebesar tiang istana. Dia sampai di kota dan segera menceritakan kehebatannya kepada setiap orang yang dia temui. Dia berkata bahawa dia telah bergomol dan berkelahi habis- habisan sampai ular sawa itu mati di tangannya.

Masalahnya, ternyata ular sawa itu tidak benar-benar mati. Ia hanya tertidur kerana kedinginan akibat salji yang sangat tebal. Si pawang tak mengetahui hal ini. Dia malah mengadakan pertunjukan untuk umum di tepian sungai Tigris. Berduyun-duyun orang datang dari seluruh penjuru kota untuk melihat pemandangan luar biasa; seekor ular sawa dari gunung yang mati di tangan seorang pawang ular.

Semua orang mempercayai cerita pawang ular itu dan mereka tak sabar ingin melihat binatang besar ini. Semakin banyak pengunjung, semakin besar pula pendapatan yang didapati oleh sang pawang. Oleh sebab itu, pawang itu menunggu lebih banyak orang yang datang sebelum dia membuka bungkusan ular sawanya. Dalam waktu singkat, tempat itu sesak dipenuhi para pengunjung. Sang pawang lalu mengeluarkan ular sawa itu dari kain wol yang membalutnya selama perjalanan dari gunung.

Meskipun ular sawa itu diikat kuat dengan besi, sinar matahari Irak yang terik telah menerpa bungkusan ular sawa itu selama beberapa jam, dan kehangatan itu mengalirkan kembali darah di tubuh ular. Perlahan- lahan, sang ular sawa terbangun dari tidurnya yang panjang. Begitu ular sawa itu bangun, ia segera meronta dari ikatan besi yang melilitnya. Para penonton menjerit ketakutan. Mereka bertempiaran lari ke berbagai arah dengan paniknya. Kini, ular sawa itu telah lepas dari ikatannya. Banyak orang terbunuh dan cedera kerana peristiwa ini.

Si pawang ular berdiri terpaku ketakutan. Ia menjerit-jerit, "Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Apa yang telah aku bawa dari gunung?"

Ular sawa lalu melahap sang pawang dalam sekali telan. Dengan cepat ia menyedut darahnya dan meremukkan tulang-tulangnya seperti ranting- ranting kering.

MORAL KISAH INI:

Ular sawa adalah lambang nafsu lahiriah. Bagaimana matinya ular itu?

Nafsu hanya dapat beku dengan penderitaan dan kekurangan. Berilah nafsu itu kekuatan dan hangatnya sinar matahari, maka ia akan terbangun. Biarkan ia beku dalam salju dan ia takkan pernah bergerak. Namun bila kau melepaskannya dari ikatan, ia akan melahapmu bulat-bulat. Ia akan meronta liar dan menelan semua hal yang ia temui. Kecuali kau sekuat Nabi Musa dengan tongkat mukjizatnya, ikatlah selalu nafsumu dalam lilitan keimanan.

Lompatan Si Belalang

Setiap orang yang berhasrat besar untuk menjadi manusia yang lebih baik perlu merenungkan kata-kata Stuart B. Johnson berikut ini:

“Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk mendahului orang lain, tetapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini.”

Dalam era hiper kompetisi dewasa ini, bagaimana kita memahami kalimat yang demikian itu? Bukankah kita harus bersaing dengan orang lain, dengan siapa saja yang berusaha mengalahkan kita? Jika demikian cara berpikir kita, maka cerita yang dikirim seorang kawan berikut ini mungkin menarik untuk menjadi bahan renungan.

LOMPATAN SI BELALANG…. .

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi di antara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi ke sana.

Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?”

“Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,” jawab anjing dengan sombongnya.

Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi, “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita.”

“Baik,” jawab si anjing. “Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut.”

Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempatan berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula.

Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata, “Nah, belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang? Kamu sudah kalah.”

“Belum,” jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua?”

“Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing.

Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, tapi diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya.”

Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum.

“Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing.

“Tidak perlu,” jawab si belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.” “Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri. Iya nggak sih?”

MORAL KISAH INI:

Cerita sederhana di atas pernah membuat saya malu pada diri sendiri. Ketika masih berumur awal 30-an tahun, betapa sering saya membanding- bandingkan diri saya dengan orang lain. Membandingkan antara profesi saya dengan profesi si Anu, antara pendapatan saya dan pendapatan si Banu, antara mobil saya dengan mobil si Canu, antara kesuksesan saya dengan kesuksesan si Danu, dan seterusnya. Hasilnya? Ada kalanya muncul perasaan- perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada diri sendiri, yang menganiaya rasa syukur atas kehidupan. Namun kala yang lain muncul juga semacam motivasi untuk bisa lebih maju dan berusaha lebih tekun agar bisa melampaui orang lain (pesaing?).

Belakangan, saya menemukan cara bersaing yang lebih cocok untuk diri sendiri. Saya mulai mengukur kemajuan saya tahun ini berdasarkan prestasi saya tahun kemarin. Saya tetapkan bahwa tahun ini saya harus lebih sehat dari tahun kemarin; pendapatan dan sumbangan tahun ini diupayakan lebih tinggi dari tahun lalu; pengetahuan yang disebarkan tahun ini ditingkatkan dari tahun silam; relasi dan tali silahturahmi juga direntangkan lebih lebar; kualitas ibadah diperdalam; perbuatan baik dipersering; dan seterusnya. Dengan cara ini, saya ternyata lebih mampu mengatasi penyakit-penyakit seperti iri hati, dengki, dan rasa kecewa pada diri. Berlomba untuk memecahkan rekor pribadi yang baru, melampaui rekor yang tercapai di masa lalu, ternyata menimbulkan keasyikan dan rasa syukur yang membahagiakan.

Mungkin benar kata orang bijak dulu: kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas hawa nafsu diri sendiri. Setujukah?

Sumber:

Memecahkan Rekor oleh Andrias Harefa.

Merasa Kebosanan?

Pada awalnya manusialah yang menciptakan kebiasaan. Namun lama kelamaan, kebiasaanlah yang menentukan tingkah laku manusia.

Ada seorang yang hidupnya amat miskin. Namun walaupun ia miskin ia tetap rajin membaca.

Suatu hari secara tak sengaja ia membaca sebuah buku kuno. Buku itu mengatakan bahawa di sebuah pantai tertentu ada sebuah batu yang hidup, yang boleh mengubah benda apa saja menjadi emas.

Setelah mempelajari isi buku itu dan memahami seluk-beluk batu tersebut, dia pun berangkat menuju pantai yang disebutkan dalam buku kuno itu.

Dikatakan dalam buku itu bahawa batu ajaib itu agak hangat bila dipegang, seperti halnya apabila kita menyentuh makhluk hidup lainnya.

Setiap hari pemuda itu memungut batu, merasakan suhu batu tersebut lalu membuangnya ke laut jika batu dalam genggamannya itu dingin saja.

Satu batu, dua batu, tiga batu dipungutnya dan dilemparkannya kembali ke dalam laut.

Satu hari, dua hari, satu minggu, setahun ia berada di pantai itu.

Kini menggenggam dan membuang batu telah menjadi kebiasaannya.

Suatu hari secara tak sedar, batu yang dicari itu tergenggam dalam tangannya. Namun kerana dia telah terbiasa membuang batu ke laut, maka batu ajaib itu pun terbang ke laut dalam.

Lelaki miskin itu meneruskan ‘permainannya’ memungut dan membuang batu. Ia kini lupa apa yang sedang dicarinya.

MORAL KISAH INI:

Sahabat, pernahkah kita merasakan kalau hidup ini hanyalah suatu rutin yang membosankan?

Dari kecil, kita sebenarnya sudah dapat merasakannya, kita harus bangun pagi-pagi untuk bersekolah, lalu pada siangnya kita pulang, mungkin sambil melakukan aktiviti lainnya, seperti belajar, menonton TV, tidur, lalu pada malamnya makan malam, kemudian tidur, keesokkan harinya kita kembali bangun pagi untuk bersekolah, dan melakukan aktiviti seperti hari kelmarin, hal itu berulang kali kita lakukan bertahun-tahun !!

Hingga akhirnya tiba saatnya untuk kita bekerja, tak jauh bezanya dengan bersekolah, kita harus bangun pagi- pagi untuk berangkat ke pejabat, lalu pulang pada petang/malam harinya, kemudian kita tidur, keesokan harinya kita harus kembali bekerja lagi, dan melakukan aktiviti yang sama seperti kelmarin, sampai bila?

Pernahkah kita merasa bosan dengan aktiviti hidup kita?

Kalau ada di antara teman-temanku ada yang merasakan demikian, dengarkanlah nasihatku ini :

“Bila hidup ini cuma suatu rutin yang membosankan, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menemukan suatu nilai baru di sebalik setiap peristiwa kehidupan.”

Ertinya, jangan melihat aktiviti yang kita lakukan ini sebagai suatu kebiasaan atau rutin , kerana jika kita menganggap demikian, maka aktiviti kita akan amat sangat membosankan !!

Cubalah mengerti setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, mungkin kita akan menemukan suatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kita ketahui sebelumnya, “Setiap hari merupakan hadiah baru yang menyimpan sejuta erti.”