Tuesday, April 22, 2008

Jawapan Kepada Segala Persoalan

Seseorang berjalan berhampiran sebuah kebun tembikai. Buah-buah tembikai yang besar sedang masak ranum di kebun itu. Berhampiran pohon tembikai itu terdapat sepohon pinang yang berbuah.

Dia tertanya-tanya:

"Kenapa Tuhan jadikan buah tembikai yang besar berada di bawah sedangkan buah pinang yang kecil berada di atas?"

Oleh kerana terlalu mengantuk dia pun tertidur di bawah pohon pinang itu. Tiba-tiba sebiji buah pinang jatuh ke atas kepalanya,

"Aduh!!"

Dia pun terfikir:

"Kalaulah buah pinang ini sebesar buah tembikai, sudah tentu aku dah jadi arwah. Inilah menunjukkan bahawa adilnya Tuhan yang menjadikan buah pinang yang kecil di atas dan buah tembikai yang besar di bawah."

Setelah berpuas hati dengan jawapan yang telah ditemui bagi persoalannya tadi, dia pun bangun dan meneruskan perjalanan. Tidak berapa lama kemudian dia melalui di bawah sepohon kelapa. Tiba-tiba:

"Buppp!!!"

Sebiji buah kelapa yang sama besar saiznya dengan buah tembikai jatuh dan hampir-hampir mengenai kepalanya.

Dia pun terfikir sekali lagi:

"Kenapa pula Tuhan jadikan buah kelapa yang bersaiz besar berada di atas?"

"Aah... lupakan saja persoalan itu. Yang penting, Tuhan tetap Maha Adil dan Hanya Dia Yang Maha Mengetahui jawapan bagi segala persoalan-persoalan..."

Kisah Si Penari Muda

Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol berbanding dengan kawan-kawannya, sehingga dia seringkali menjadi juara di pelbagai pertandingan yang diadakan. Dia berfikir, dengan apa yang dimilikinya pada saat itu, apabila dewasa nanti dia ingin menjadi penari kelas dunia. Dia membayangkan dirinya menari di Russia, China, Amerika, Jepun, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepuk tangan kepadanya.

Suatu hari, kotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat, dan dari latihannya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya.

Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil bertemu dengan sang pakar di belakang panggung, selepas sebuah pertunjukan tarian. Si gadis muda bertanya "Encik, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari ? Saya ingin tahu pendapat anda tentang tarian saya".

"baiklah, menarilah di depan saya selama 10 minit", jawab sang pakar.

Belum lagi 10 minit berlalu, sang pakar berdiri dari kerusinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar. Si gadis langsung berlari keluar.

Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada kehebatannya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil kasut tarinya, dan dia buangkan ke dalam tong sampah. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak akan lagi menari.

Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menyara keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah kedai di sudut jalan.

Suatu hari, ada sebuah pertunjukan tarian yang diadakan di kota itu. Nampak sang pakar berada di antara para penari muda di belakang panggung. Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pertunjukan tarian tersebut.

Selepas acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab.

Si ibu bertanya ", Encik, ada satu pertanyaan yang disimpan di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu terukkah penampilan saya saat itu, sehingga anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa berkata walau sepatah kata pun ?".

"oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba berhenti dari dunia tari", jawab sang pakar.

Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar.

"ini tidak adil", seru si ibu muda. "sikap anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa minit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Semestinya saya boleh menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan kedai !".

Si pakar menjawab lagi dengan tenang "tidak …. Tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. Anda tidak harus makan seperiuk bubur untuk membuktikan bubur itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton anda 10 minit untuk membuktikan tarian anda bagus. Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan anda, untuk mengambil kad nama saya, dan berharap anda mahu menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi anda sudah pergi ketika saya keluar.

Dan satu hal yang perlu anda camkan, bahwa anda mestinya fokus pada impian anda, bukan pada ucapan atau tindakan saya. Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya memotivasimu, boleh pula melemahkanmu.

Dan faktanya saya melihat bahawa sebahagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang bertumbuh, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti. Saya justeru lebih suka mengacuhkanmu, agar hal itu boleh membuatmu menjadi lebih baik dengan lebih cepat lagi. Lagi pula, pujian itu seharusnya datang dari keinginan saya sendiri. Tidak harus anda meminta pujian dari orang lain".

"anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah kecil. Seandainya anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini anda sudah menjadi penari kelas dunia. Mungkin anda sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hati anda akan cepat hilang begitu anda berlatih kembali. Tapi sakit hati kerana penyesalan anda hari ini tidak akan boleh hilang selama-lamanya ……..".

Bersyukurlah Dan Berbahagialah

Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu perbincangan yang menarik. Seorang Guru, dengan buku di tangan, sedang bertanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas.

" Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apakah yang membuat kalian bahagia ? Apakah kejayaan-kejayaan besar yang kalian telah peroleh selama ini ?"

Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari Pak Guru, " Ya, ceritakanlah suatu kebahagiaan yang terjadi dalam hidup kalian ..."

Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan Pak Guru itu menunjuk pada seorang murid. " Nah, kamu yang berkacamata, adakah kejayaan yang kamu temui ? Berkongsiilah dengan teman-temanmu ..."

Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, " Seminggu yang lalu, adalah saat-saat yang sangat besar buat saya. Orang tua saya, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang saya impikan selama ini."

Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. " Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang boleh mengalahkan kebahagiaan itu !"

Pak Guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka, terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir.

Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah kereta. Ada pula yang baru kembali dari bercuti di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang aktivitinya mendaki gunung.

Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang. " Pak Guru ... Pak, saya belum bercerita."

Rupanya, ada seorang anak di sudut hujung kanan yang lupa dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.

" Maaf, silakan, berceritalah dengan kami semua," ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu.

" Apa kebahagiaan terbesar yang kamu dapatkan ?" ujar Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.

" Kebahagiaan terbesar buat saya, dan juga buat keluarga saya adalah ... saat nama keluarga kami ada dalam Buku Telepon yang baru terbit 3 hari yang lalu."

Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu.

Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, " Ha ? Saya sudah sejak lahir menemukan nama keluarga saya di Buku Telepon. Buku Telepon ? Betapa menyedihkan ... hahaha ..."

Dari sudut lain, ada pula yang menyindir, " Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu ?"

Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Pak Guru berusaha menangani situasi ini, sambil mengangkat tangan.

" Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silakan teruskan, Nak ..."

Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. " Ya, memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah saya dapatkan. Dulu, Papa saya bukanlah orang baik-baik. Kerananya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, kerana selalu dikejar polis."

Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan.

" Tapi, kini Papa telah berubah. Dia telah mahu menjadi Papa yang baik buat keluarga saya. Sayang, semua itu tidak inginkan waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Papa saya. Dan kini, Papa berjaya. Bukan hanya itu, Papa juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi."

" Tahukah kalian, apa ertinya kalau nama keluarga saya ada di Buku Telepon ? Itu ertinya, saya tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan Papa untuk terus berlari. Itu ertinya, saya tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang saya sayangi. Itu juga bererti, saya tak harus tidur di dalam kereta setiap malam yang dingin. Dan itu ertinya, bagi saya, dan juga keluarga saya, adalah sama darjatnya dengan keluarga-keluarga lainnya."

Matanya kembali menerawang. Ada air mata bening yang mengalir.

" Itu ertinya, akan ada harapan-harapan baru yang saya dapatkan nanti ..."

Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk.

Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan.

Mereka juga belajar satu hal :

" Bersyukurlah dan berbahagialah setiap kali kita mendengar keuntungan orang lain. Sekecil apapun ... Sebesar apapun ..

Tiga Orang Pekak Dan Seorang Guru Bisu

Pada suatu ketika, hiduplah seorang penggembala miskin. Setiap hari ia menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia memandangi desa tempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia tuli, tetapi itu tak jadi masalah baginya.

Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makan siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya. Sampai tengah hari kiriman itu tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, "Aku akan pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang hari tanpa sepotong makanan." Namun ia tidak dapat meninggalkan domba-dombanya. Tiba-tiba ia memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia menghampirinya dan berkata, "Saudaraku, tolong jaga domba-dombaku ini dan awasi jangan sampai tersesat atau berkeliaran. Aku akan kembali ke desa karena istriku begitu bodoh lupa mengirim makan siangku."

Ternyata pemotong rumput itu juga tuli. Ia tidak mendengar satu kata pun yang diucapkan, dan sama sekali salah paham terhadap maksud si penggembala.

Katanya, "Mengapa aku harus memberi rumput untuk ternakmu? Sedangkan aku sendiri memiliki seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah. Tidakkah kau lihat, aku ini harus pergi jauh demi mencari rumput bagi ternak-ternakku.

Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusan dengan orang sepertimu yang hanya ingin enaknya sendiri mengambil milikku yang cuma sedikit ini." Ia menggerakkan tangannya dan tertawa kasar.

Si penggembala tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pemotong rumput.

Katanya, "Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan dan kesediaanmu. Aku akan segera kembali. Semoga keselamatan dan berkah tercurah atas dirimu. Engkau telah meringankan bebanku." Ia segera berlari ke desa menuju gubuknya yang sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam dan sedang dirawat oleh para istri tetangga.

Kemudian, si penggembala itu mengambil bungkus makanan dan berlari kembali ke bukit. Ia menghitung domba-dombanya dengan cermat. Semuanya masih lengkap seperti semula. Ia lalu melihat si pemotong rumput masih sibuk memotong rumput segar. Si penggembala ini berkata pada dirinya sendiri, "Ah, betapa luar biasa pribadi si pemotong rumput ini. Benar-benar dapat dipercaya. Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidak terpencar bahkan tidak mengharapkan terima kasih dariku. Aku akan memberinya domba pincang ini. Sebenarnya domba pincang ini akan kusembelih sendiri, namun biarlah aku berikan pada si pemotong rumput itu agar bisa jadi makan malam yang lezat bagi keluargnya.

Ia pun memanggul domba pincang yang dimaksud di atas bahunya, menuruni bukit dan berteriak pada si pemotong rumput, "Wahai saudaraku!, ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku pergi. Istriku yang malang menderita demam, itulah mengapa ia tidak mengirimkan aku makan siang.

Pangganglah domba ini untuk makan malammu nanti malam; lihat domba ini kakinya pincang dan memang akan aku sembelih!"

Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidak mendengar kata-katanya dan berteriak marah, "Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun yang terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kaki pincang dombamu! Sedari tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapa hal itu terjadi!

Pergilah, atau aku akan memukulmu!"

Si penggembala itu amat heran melihat sikap marah si pemotong rumput, tetapi ia tidak dapat mendengarkan apa yang dikatakannya. Tiba-tiba ada seorang melintas di antara mereka dengan menunggang seekor kuda yang bagus. Si penggembala menghentikan si penunggang kuda itu dan berkata, "Tuan penunggang kuda yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yang diucapkan oleh pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolak pemberianku berupa seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu."

Si penggembala dan si pemotong rumput mulai saling berteriak pada si penunggang kuda untuk menjelaskan kemauannya masing-masing. Si penunggang kuda itu turun dan menghampiri mereka. Ternyata penunggang kuda itu pun sama tulinya. Ia tidak mendengar apa-apa yang kedua orang itu katakan. Justru, ia ini sedang tersesat dan hendak bertanya dimana dirinya saat ini. Tetapi ketika melihat sikap keras dan mengancam dari ke dua orang itu, akhirnya ia berkata, "Benar, benar, saudara. Aku telah mencuri kuda ini. Aku mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku tidak dapat menahan diriku dan bertindak mencuri."

"Aku tidak tahu apa-apa tentang pincangnya domba ini!" teriak pemotong rumput.

"Suruh ia mengatakan padaku mengapa pemotong rumput itu menolak pemberianku," desak si penggembala, "aku hanya ingin memberikannya sebagai penghargaan tanda terima kasihku."

"Aku mengaku mengambil kuda. Aku akan kembalikan kuda ini. "kata penunggang kuda," tapi aku tuli, dan tidak tahu siapa di antara kalian pemilik sesungguhnya kuda ini."

Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang guru tua berjalan. Si pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubah lusuhnya dan berkata, "Guru yang mulia, aku seorang tuli yang tidak mengerti ujung pangkal apa yang dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohon kebijaksanaan anda, adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan."

Namun, si Guru tua ini bisu dan tidak dapat menjawab, tapi ia mendatangi mereka dan memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh selidik.

Sekarang ketiga orang tuli itu menghentikan teriakan mereka. Guru itu memandangi sedemikian lama dan dengan tajam, satu per satu hingga ketiga orang itu merasa tidak enak. Matanya yang hitam berkilauan menusuk ke dalam mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk dari situasi itu.

Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasa takut kalau-kalau guru tua itu menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan memacunya kencang-kencang. Begitu juga si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya jauh ke atas bukit. Si pemotong rumput tidak berani menatap mata guru tua itu, lalu ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya ke atas bahu dan berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.

Guru tua itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri bahwa kata-kata merupakan bentuk komunikasi yang tidak berguna, bahwa orang mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!

Peladang Jagung Yang Berjaya

Seorang wartawan mewawancara seorang petani untuk mengetahui rahsia di sebalik ladang jagungnya yang selama ini selalu menghasilkan jumlah jagung terbaik dan terbanyak di daerah tersebut. Petani itu mengakui dia sama sekali tidak mempunyai rahsia khusus tetapi sebaliknya dia selalu membagi-bagikan benih-benih jagung terbaiknya pada jiran-jiran di sekitar ladangnya.

"Mengapa anda membagi-bagikan benih jagung terbaik itu pada jiran-jiran anda?" tanya sang wartawan.

"Tak tahukah anda?," jawab petani itu. "Bahawa angin menerbangkan serbuk benih dari bunga-bunga jagung yang masak dan menyebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Apabila tanaman jagung jiran-jiran saya buruk, maka serbuk benih yang disebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualiti jagung saya. Apabila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang terbaik, saya harus menolong jiran-jiran saya mendapatkan jagung yang baik pula."

MORAL KISAH INI:

Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keuntungan harus menolong jiran-jirannya supaya berjaya juga. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong kawan-kawannya hidup dengan baik juga.

Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang dibantunya.

Dua Pemancing

Diceritakan tentang sebuah kejadian yang dialami oleh dua orang pemancing yang sama-sama hebat iaitu pemancing A dan B. Kedua-dua pemancing itu selalu mendapatkan banyak ikan.

Suatu hari kedua-dua pemancing tersebut didatangi 10 pemancing lain ketika memancing di sebuah danau. Seperti biasa, kedua pemancing itu mendapat banyak ikan. Sedangkan 10 pemancing lainnya hanya gigit jari, kerana tak satu pun ikan menghampiri kail mereka. Kesepuluh pemancing amatur itu ingin sekali belajar cara memancing daripada kedua-dua pemancing hebat tersebut. Tetapi keinginan mereka tidak dilayan oleh pemancing A. Sebaliknya, pemancing A tersebut menunjukkan sikap kurang senang dan terganggu oleh kehadiran pemancing-pemancing amatur itu.

Tetapi pemancing B menunjukkan sikap yang berbeza. Ia bersedia menjelaskan teknik memancing yang baik kepada ke-10 pemancing lainnya, dengan syarat mereka harus memberikan seekor ikan kepada B sebagai bonus jika mereka mendapat 10 ekor ikan. Tetapi jika jumlah ikan tangkapan masing-masing di antara mereka kurang dari 10, maka mereka tidak perlu memberikan apa-apa pun.

Syarat tersebut dipersetujui, dan mereka dengan cepat belajar tentang teknik memancing daripada B. Dalam waktu dua jam, pemancing-pemancing itu mendapat sedikitnya sebakul ikan. Automatik si B mendapatkan banyak keuntungan. Disamping mendapatkan `bonus' ikan dari pemancing-pemancing bimbingannya, si B juga mendapatkan 10 orang teman baru. Sementara pemancing A, yang kedekut memberi ilmu, tidak mendapat keuntungan sebesar manafaat yang didapati oleh B.

MORAL KISAH INI:

Kisah di atas menunjukkan bahawa ilmu pengetahuan akan jauh lebih bermanfaat bila diamalkan.

"Hanya dengan cara kita mengembangkan ilmu kita kepada orang lain yang membuatkan kita berhasil selamanya," kata Harvey S. Fire Stone. Kerana tindakan tersebut, di samping menjadikan kita lebih menguasai ilmu pengetahuan, kita juga mudah mendapat keuntungan dari segi kewangan, pengembangan hubungan sosial, dan sebagainya.

"Jika Anda membantu lebih banyak orang untuk mencapai impiannya, impian Anda akan tercapai," tambah Zig Ziglar, seorang motivator ternama di Amerika Serikat.

Bentuk pemberian tak semestinya berupa wang, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, mungkin juga dalam bentuk kasih sayang, perhatian, kesetiaan, motivasi, bimbingan dan sebagainya yang mampu kita berikan.

"Make yourself necessary to somebody. – Jadikan dirimu bererti bagi orang lain," kata Ralph Waldo Emerson.

Kebiasaan memberi seperti itu selain memudahkan kita memperluaskan jalinan hubungan sosial, tetapi juga membangun sikap optimism kerana kehidupan kita akan lebih bererti.

Sumber: Dua Pemancing Yang Hebat oleh Andrew Ho.

Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller.

Makna Pekerjaan Anda

Makna Pekerjaan Anda...

By James Gwee

Beberapa waktu yang lalu saya memberikan kursus mengenai sikap kerja di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Salah satu peserta kursus adalah Pak Lim, seorang lelaki berusia 60 tahun yang bekerja di hotel tersebut. Bagi saya pekerjaan sehari-hari Pak Lim sangatlah membosankan. Setiap hari, dengan membawa sebuah senarai, dia memeriksa engsel pintu setiap bilik hotel.

Saya akan menceritakan sedikit bagaimana tugas Pak Lim sebenarnya. Pak Lim memulakan rangkaian tugasnya dengan memeriksa engsel pintu-pintu bilik 1001 dan memastikan bahwa setiap engsel dan fungsi kunci pintu berfungsi dengan baik. Pemeriksaan yang dilakukannya bukanlah pemeriksaan "seadanya", namun pemeriksaan yang amat teliti di setiap engsel dan memastikan bahwa setiap pintu boleh dibuka-tutup tanpa masalah.

Untuk memeriksa satu pintu saja, Pak Lim berulang kali membuka dan menutup pintu tersebut hanya untuk memastikan bahwa semuanya berfungsi dengan baik. Barulah setelah puas, dia menanda senarai yang dibawanya dan memeriksa pintu bilik berikutnya, bilik 1002, dia melakukan hal yang sama, begitu seterusnya. Dalam sehari, Pak Lim boleh memeriksa pintu 30 bilik.

Anda tentu bertanya, berapa hari waktu yang diperlukan oleh Pak Lim untuk memeriksa pintu semua bilik di hotel itu. kurang lebih sebulan! Tidak mengejutkan sebenarnya kerana hotel berbintang lima ini memiliki sekitar 600 bilik.

Tugas pemeriksaan Pak Lim dapat diibaratkan sebagai sebuah bulatan. Setelah pintu bilik terakhir selesai diperiksa, Pak Lim akan kembali lagi ke bilik pertama, bilik 1001. Rangkaian tugas ini terus berjalan seperti itu, dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun demi tahun. Pekerjaan semacam ini jelas merupakan pekerjaan monoton, tanpa variasi dan membosankan!

Saya sendiri tidak fikir, bagaimana mungkin Pak Lim masih boleh cermat dan teliti memeriksa setiap engsel pintu dalam menjalani tugas yang membosankan ini. Saya membayangkan, seandainya saya sendiri yang diminta melakukan hal semacam ini, mungkin saya akan memeriksa setiap engsel sekadarnya saja.

Kerana sangat ingin tahu, suatu hari saya bertanya kepada Pak Lim apa yang sebenarnya membuatnya begitu tekun menjalani pekerjaan rutin itu. Jawabannya sungguh diluar dugaan saya.

Dia mengatakan,"James, dari pertanyaan Anda, saya boleh menyimpulkan bahwa Anda tidak mengerti pekerjaan saya. Pekerjaan saya bukan sekadar memeriksa engsel, tetapi lebih dari itu. Begini. Tetamu-tetamu kami di hotel berbintang lima ini jelas bukannya orang sembarangan. Mereka biasanya adalah Ketua Keluarga, CEO sebuah perniagaan, Pengarah atau Manager Senior. Dan saya tahu mereka semua jelas bertanggung jawab atas kehidupan keluarga mereka, dan juga banyak pekerja di bawahnya yang jumlahnya mungkin 20 orang, 100 atau bahkan ribuan orang.

"Nah, kalau sesuatu yang buruk terjadi di hotel ini, misalnya saja kebakaran dan pintu tidak boleh dibuka karena engselnya rosak, mereka boleh meninggal didalam bilik. Akibatnya boleh Anda bayangkan, pasti sangat mengerikan, bukan hanya untuk reputasi hotel ini, tetapi juga bagi keluarga mereka, pekerja yang berada di bawah tanggungan mereka. Keluarga mereka akan kehilangan ketua Keluarga yang memberi rezeki kepada mereka dan pekerja mereka akan kehilangan sorang pemimpin senior yang boleh mengganggu kelancaran perusahaan. Sekarang Anda mungkin dapat memahami bahawa tugas saya bukan sekadar memeriksa engsel, tapi menyelamatkan ketua-ketua Keluarga dan pemimpin sebuah perniagaan. Jadi, jangan meremehkan tugas saya."

Saya benar-benar terkejut mendengar penjelasan panjang lebar Pak Lim. Dari situlah saya mengerti bahawa jika seseorang tahu makna di balik pekerjaannya, dia akan melakukan pekerjaannya dengan bangga, dengan senang hati, dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, seandainya saja Pak Lim tidak mengerti makna pekerjaannya, dia akan mengatakan bahwa tugasnya hanya sebagai tukang periksa engsel.

MORAL KISAH INI:

Sekarang, cuba tanyakan pada diri sendiri. Apakah anda tahu makna di sebalik pekerjaan Anda? Katakanlah Anda adalah seorang Staff, Penyelia, atau Pengurus, apakah Anda tahu makna di sebalik pekerjaan anda sebagai seorang Staff, Penyelia , atau Pengurus?

Ingatlah bahwa jika seorang tahu makna pekerjaannya, dia pasti akan melakukan pekerjaan dengan rasa bangga, dan yang terpenting, dia akan membuat pekerjaannya penuh erti, bagi dirinya, bagi keluarganya dan bagi perusahaannya.

Dua Ekor Anak Burung

Ada dua ekor anak burung yang sudah dewasa. Anak burung yang pertama mempunyai kemahuan yang kuat untuk belajar terbang. Dia merancang untuk meloncat dari sarang untuk mencapai dahan yang di sebelah sarang. Sedangkan anak burung yang kedua tidak mempunyai kemahuan untuk belajar terbang. Dia merasa malas dan tidak mempunyai keberanian untuk belajar terbang. Baginya hidup di sarang dan menerima makanan dari sang ibu burung saja sudah cukup.

Suatu hari anak burung yang pertama meloncat dan berusaha mengepakkan sayapnya, tapi apakan daya, dia terjatuh dari atas pohon bergulingan ke tanah. Dia menangis kesakitan, lalu dia berusaha bangkit dan mencuba lagi. Hal ini dilakukan berulang-ulang. Sedangkan anak burung yang kedua memandang sambil bergumam, "buat apa susah-susah belajar terbang, daripada aku jatuh bangun dan badanku sakit, lebih baik aku tidur di sarang saja menunggu makanan datang dari ibuku."

Akhirnya, pada suatu hari anak burung pertama telah berjaya terbang setelah belajar dan berjuang tidak kenal lelah. Dia telah boleh bercengkerama dengan burung lain dari dahan yang satu ke dahan yang lain, dari pohon satu ke pohon yang lain, dan dia sudah boleh mencari makan sendiri. Dengan riang gembira dia menjalani hidup dengan berdikari. Sedangkan anak burung kedua hanya boleh memandang temannya. Dalam hati dia menyesal, mengapa dia tidak mahu belajar terbang sejak dulu. Dia meratapi nasibnya yang masih bergantung ke ibunya untuk makan.

MORAL KISAH INI:

Memang hidup adalah pilihan. Sering kali pilihan untuk mencapai kejayaan bermula dengan jatuh bangun, pahit getir, atau bahkan menghadapi risiko yang apabila dibayangkan membuatkan hati kita ngeri untuk melangkah lebih jauh. Tapi sahabat, kalau kita tidak menghadapi risiko, kita tidak akan maju, kita akan bernasib sama dengan anak burung kedua, yang terus bergantung kepada orang lain. Kita akan merasa ketinggalan dengan orang yang telah berjaya.

Tidak ada salahnya kita belajar mengepakkan sayap. Hadapi dunia, terbang sejauh-jauhnya. Capai cita-cita kita walaupun kita harus berpisah dengan orang yang kita sayangi. Walaupun kita akan merana, kesakitan sendiri, anggap saja ini ujian untuk mencapai hidup yang lebih baik.

Warnakan Sendiri Lukisan Anda

(Berbadan seperti atlet dan tegap, bertubuh sasa, berwajah tampan, datang dari keluarga yang bercerai-berai. Lumpuh … tetapi semangatnya tetap kental. Dia bermain alat muzik serta menyanyi dalam sebuah kumpulan muzik dan juga adalah seorang penulis ...)

Apabila seseorang itu jatuh, dia dijangka akan bangun dan mengibas dirinya sendiri lalu meneruskan perjalanan. Tetapi, kadangkala kegagalan tersebut menyebabkannya dapat melihat kehidupan dari sudut yang berlainan, mewarnai setiap pandangan atau setiap keadaan.

Dan hadapilah kenyataan, kehidupan ini adalah sebagaimana yang kita lihat, jadi dalam beberapa keadaan, kehidupan berubah setelah kita menemui kegagalan – sebahagiannya ke arah kebaikan, sesetengahnya pula ke arah keburukan. Kadangkala hanya untuk bangkit dari kegagalan yang besar adalah begitu susah sekali, juga menyakitkan, atau memang mustahil sama- sekali.

Sepanjang hidup kita, kita pasti pernah kecundang, dan mereka yang berjuang untuk bangkit semula akan mengaut hasil dan hadiah yang hanya boleh didapati setelah mengharungi kegagalan itu. Sebenarnya, kejatuhan akan mengajar kita dengan baik. Atau pada pendapat saya, ianya suatu pengimbang.

Ia boleh berlaku terhadap sesiapa sahaja tidak kira betapa besarnya kejayaan, atau juga kegagalan, yang telah diperolehi olehnya selama ini. Yang pastinya, dalam hidup ini, kita semua akan jatuh juga suatu hari nanti, dan pulang ke asal kita, yakni kembali menjadi tanah. Itulah roda kehidupan itu sendiri. Jadi, apa yang benar-benar penting adalah cara kita menangani kewujudan kita dari mula hingga akhir.

Mangsa pukulan kehidupan boleh ditemui dalam setiap jiwa. Setiap orang boleh menjadi mangsa kehidupan ini, walaupun dia belum pernah gagal. Sebenarnya, mungkin ini lebih buruk lagi berbanding dengan kegagalan berulang- kali kerana tanpa diuji, kita jarang sekali dapat mengetahui sekuat mana diri kita. Atau siapakah kita yang sebenarnya. Kita tidak akan belajar dengan sebenar-benarnya tentang betapa berharganya anugerah yang kita perolehi. Dan ketiadaan kebolehan menghargai sesuatu mungkin merupakan kecacatan yang paling besar.

Bunyinya memang mudah, tetapi sebenarnya menjadi mangsa kehidupan hanyalah mainan fikiran, dan saya rasa kita sama ada menerima label tersebut ataupun menolaknya. Saya sendiri tidak akan menerimanya. Semenjak kecil lagi, saya asyik menemui kegagalan, dan di setiap penjuru, seolah-olah ada saja kegagalan yang menanti, membuatkan saya terpaksa berfikir berulang-kali untuk melakukan sesuatu. Apa yang tidak saya sedari ketika itu adalah kebanyakan kegagalan saya berhubung- kait dengan kegagalan kedua-dua ibu bapa saya, dan sebagai anak, saya terjejas secara langsung.

Tetapi bagaimana boleh kita menyalahkan orang lain atas kegagalan mereka sendiri? Kebanyakan kegagalan seseorang bersangkut-paut sedikit- sebanyak dengan kesilapan tunjuk ajar daripada orang lain, oleh itu, memberi kemaafan dan meneruskan jalan hidup sendiri adalah satu-satunya jawapan yang boleh diterima akal. Pejuang kehidupan tidak pernah menoleh ke belakang!

Setiap orang harus meneruskan hidup yang telah dianugerahkan kepadanya, dan menggunakan apa sahaja alat yang ada padanya dengan harapan dapat menemui ketenangan dalaman yang melambangkan pendirian begitu penting yang harus dipilih oleh setiap orang dalam hidup masing-masing. Percayalah, kita semua mahu berdiri tegak dalam hidup. Ada yang melakukannya dengan cara yang salah, ada pula yang cuba melarikan diri darinya, dan ada juga dalam diam-diam tegak berdiri tanpa disedari orang lain. Tetapi kita semua mahukan pendirian kita sendiri.

Tentu sekali terdapat beberapa situasi yang saya tidak terfikir akan mampu kembali berdiri darinya. Dan sebelum mencecah usia awal dua puluhan, saya tak pasti sama ada saya pernah benar- benar kembali pulih sepenuhnya setelah kejatuhan itu.

Dalam peristiwa hidup saya yang penuh ironis, kejatuhan yang paling merosakkan rupanya menjadi yang terpenting mengajar saya tentang seronoknya berdiri itu, atau mungkin ia anugerah yang saya perolehi dalam perjuangan untuk bangkit semula. Saya tak berapa pasti, tapi saya tahu sebelum kemalangan kereta yang membuatkan saya lumpuh dan terpaksa menggunakan kerusi roda pada usia 21 tahun, saya tak pernah tahu apa-apa tentang kebangkitan semula, dan apakah dia erti berdiri yang sebenar-benarnya.

Terdapat berbagai cara untuk berdiri, dan bagaimana manisnya kejayaan dalam mengharungi rintangan untuk kembali berdiri semula. Berbagai-bagai pengajaran boleh diperolehi di sepanjang perjalanan untuk bangun dan berdiri semula, dan di sepanjang perjalanan itu juga terletak begitu banyak yang telah hilang daripada diri saya.

Sepanjang hidup kita, menang dan kalah berhubung rapat seperti mana rapatnya hati dengan fikiran kita.

Tidak, zahirnya saya tidak pernah bangun semula selepas kemalangan tersebut. Itu semua telah berakhir kecuali sains perubatan dapat menemui cara memulihkan saraf tunjang yang telah rosak, yang mana diharapkan akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Hakikatnya, saya tidak pernah pun dapat menggerakkan jejari saya dengan menggunakan kawalan otot semenjak kereta saya terlanggar sebatang pokok pada malam itu.

Namun ia merupakan permulaan hidup yang baru, dan penamat bagi kehidupan lama. Saya mengambil masa beberapa tahun juga sebelum dapat bangun dan mengibas diri. Saya akui memang sukar melupakan masa lalu; rasa rumput yang dipijak sewaktu berlari untuk menyambut frisbee, atau melarikan jari- jemari di atas mata piano mengikut rasa di sanubari, atau terjun junam ke dalam air yang dingin di suatu hari musim panas, ataupun hanya tugas mudah seperti memotong makanan sendiri. Ini antara beberapa perkara menyeronokkan yang masih saya ingati.

Percayalah, hati saya masih pedih mengenangkan kehilangan segala kemampuan tersebut. Namun begitu, apabila saya renung kembali selepas 20 tahun, corak hidup baru lebih banyak mendatangkan kepuasan. Saya juga mendapat peluang untuk berdiri dengan cara yang tidak mungkin dapat saya perolehi dalam kehidupan lalu.

Saya yakin kita semua berpeluang besar untuk belajar antara satu sama lain di dalam hidup ini. Inilah antara sebab saya tertarik untuk mempelajari kesenian. Wayang gambar, buku, cerita, muzik, lukisan, gambar foto, semuanya mengajar kita tentang perasaan orang lain. Memang kitaran hidup ini nampak bercanggah, lebih banyak kita mengkaji tentang orang lain, lebih jauh kita akan mendalami kisah hidup kita sendiri, menemukan perasaan, sikap, nilai-nilai hidup, akhlak, kekuatan dan tentu sekali kelemahan diri yang bercampur-aduk membentuk kita sebagai individu, tetapi masih juga sebahagian daripada alam ini, iaitu sebagai insan.

Ingin saya menganggapkan bahawa kita semua adalah ahli seni, dan kehidupan kita umpama kanvas. Kita adalah pelukis agung lukisan ini yang dipanggil kehidupan, dan kita yang memilih warna-warna yang hendak dipalitkan. Keindahannya terlukis dalam berbagai warna dan corak, dan yang paling mengagumkan tentang lukisan ini adalah ia tidak akan selesai sehinggalah kita menghembuskan nafas terakhir.

Jangan salah faham. Saya sendiri lebih tahu keadaan-keadaan yang, sama ada anda suka atau tidak, akan mewarnai lukisan hidup anda. Seorang kanak- kanak yang lahir ke dunia ini dengan warna kulit yang salah di dalam keluarga miskin dan di negara dunia ketiga pula, sudah pasti bermula dengan set warna yang berlainan untuk mewarnai kehidupannya, berbanding dengan kanak-kanak kulit putih di Amerika yang lahir di kalangan kelas atasan.

Walau bagaimanapun, tidak mustahil untuk cuba mencari warna-warna lain untuk lukisan hidup kita, dan kadangkala kita harus menjengah melangkaui persekitaran kita untuk mendapatkan warna yang dikehendaki, dan enggan menurut jalan hidup tertentu yang ditetapkan oleh masyarakat kita. Dunia yang mengagumkan ini mempunyai begitu banyak warna untuk digarap, diolah, atau sekurang-kurangnya dihargai. Namun demikian, perlu ada wawasan untuk memandang jauh melangkaui perkarangan, kejiranan, keluarga, latar belakang kaum, adat resam, budaya mahupun rumah ibadat kita sendiri.

Rasa saya, kebanyakan kita sedikit- sebanyaknya memang bersalah kerana tidak mempunyai wawasan untuk memandang jauh melangkaui sempadan yang tersurat, juga yang tersirat, yang memisahkan insan dengan insan yang lain.

Untuk melihat gambaran keseluruhan lukisan, terlebih dahulu kita harus lihat melangkaui bingkainya. Kita semua dikelilingi bingkai-bingkai. Perkara pertama yang kita nampak apabila melihat orang lain adalah kerangka kehidupan mereka. Ini memang sifat semula jadi manusia, yang pada pendapat saya mempunyai banyak kekurangan, tetapi di situlah juga kita boleh bersikap jujur terhadap diri sendiri dan bergerak lebih jauh ke arah mewarnakan lukisan hidup seperti yang kita ingini.

Akuilah, kita semua serba kekurangan sehingga kadangkala sukar untuk dipulihkan kembali. Tetapi harus juga kita sedar pentingnya mengkaji diri sendiri, dan dengan itu orang lain juga, dengan cara memandang jauh melangkaui bingkainya, dan memahami sebaik mungkin bahawa kita semua merupakan lukisan yang berbeza ... oh, yang mungkin perlu diperkemaskan sedikit! Warnakan sendiri lukisan anda. Jadilah pelukisnya.

oleh Anthony Rain Starez

Melawan Arus

MELAWAN ARUS

Oleh : Natalia Sadiqova Al Hindustanee

Saya sesungguhnya amat teruja apabila membaca karya penulisan Stephen R. Covey didalam "The 8th Habit". Namun apa yang membuatkan buku beliau itu lebih bermakna adalah catatan beliau mengenai kisah penubuhan sebuah bank yang bernama Bank Grameen di Bangladesh oleh Muhammad Yunus.

Pada hari ini perkhidmatan Bank Grameen telah dapat dinikmati oleh lebih 46000 buah kampung di Bangladesh melalui 1267 buah cawangan dengan lebih 12000 orang pekerja. Bagaimanakah kisah disebalik penubuhan bank ini?

Muhammad Yunus telah mengisahkannya seperti berikut:

"Semuanya bermula dua puluh lima tahun dahulu. Saya sedang mengajar matapelajaran ekonomi disebuah universiti di Bangladesh. Negara itu sedang dilanda kebuluran. Saya berasa amat kecewa. Saya mengajar teori ekonomi yang sangat menarik dan baik sekali didalam bilik kuliah dengan penuh semangat sebagai seorang yang baru mendapat sarjana kedoktoran dari Amerika Syarikat. Tetapi saya akan melangkah keluar dari bilik kuliah itu dan melihat rangka- rangka manusia yang hanya menunggu masa untuk mati.

Saya merasakan apa yang telah saya pelajari, apa yang telah saya ajar adalah dongeng dan rekaan semata-mata, tanpa ada sebarang makna dalam kehidupan manusia. Jadi saya bermula dengan mencuba untuk memahami cara kehidupan orang-orang kampung disebelah kampus universiti saya.

Saya ingin mengetahui jika ada sesuatu yang boleh saya lakukan sebagai seorang manusia untuk melambatkan atau menghentikan kematian itu, walaupun untuk seorang. Saya meninggalkan pemerhatian dari jauh saya yang hanya membenarkan anda melihat dari jauh, dari langit.

Saya mengambil pendekatan untuk melihatnya dengan lebih dekat, cuba mencari apa sahaja yang datang dihadapan saya – untuk menghidunya, untuk menyentuhnya, melihat sekiranya saya boleh melakukan sesuatu terhadapnya.

Satu kejadian telah membawa saya ke suatu arah yang baru. Saya bertemu dengan seorang wanita yang membuat bangku dari buluh. Selepas satu perbincangan yang panjang, saya mendapat tahu dia hanya mendapat dua sen (matawang US) sehari. Saya tidak mempercayai bahawa seseorang yang bekerja keras dan menghasilkan bangku-bangku buluh yang cantik itu hanya mendapat keuntungan yang amat sedikit.

Dia menerangkan kepada saya yang dia tidak mempunyai wang untuk membeli buluh bagi membuat bangku-bangku tersebut, dia perlu meminjam dari seorang peniaga – peniaga itu meletakkan syarat dimana bangku-bangku yang dihasilkan oleh wanita itu hanya boleh dijual kepada peniaganya sahaja, pada harga yang telah ditetapkan oleh peniaga tersebut. Dan itu telah menjelaskan kepada saya tentang dua sen tersebut – dia sebenarnya telah menjadi buruh paksa kepada peniaga itu. Dan berapakah harga buluh-buluh itu?

Wanita itu berkata, "Oh, lebih kurang dua puluh sen. Dua puluh lima sen untuk yang lebih baik."

Saya berfikir, "orang menderita untuk dua puluh sen dan tiada apa yang boleh dilakukan oleh sesiapa?".

Saya berdebat samada patutkah saya memberinya dua puluh sen, tetapi kemudiannya saya mendapat satu idea yang lain – saya akan menyenaraikan orang- orang yang memerlukan wang sebanyak itu. Saya mengajak seorang pelajar saya dan kami pergi ke seluruh kampung itu untuk beberapa hari dan telah menyenaraikan empat puluh dua orang yang berada didalam keadaan yang serupa.

Apabila saya mengira jumlah wang yang mereka perlukan, saya mendapat kejutan terbesar dalam hidup saya: Jumlahnya adalah dua puluh tujuh dolar!

Saya berasa malu kepada diri saya sendiri kerana menjadi sebahagian daripada masyarakat yang tidak boleh memperuntukkan hanya dua puluh tujuh dolar kepada empat puluh dua orang yang mahir dan rajin bekerja. Untuk mengelak dari malu, saya mengeluarkan wang dari poket saya sendiri dan memberinya kepada pelajar saya.

Saya berkata, "Awak ambil wang ini dan berikannya kepada empat puluh dua orang yang kita temui dan katakan kepada mereka ini adalah satu pinjaman, tapi mereka boleh membayar balik wang tersebut kepada saya bila-bila masa mereka mampu. Pada masa yang sama, mereka boleh menjual barangan mereka dimana-mana mereka boleh mendapatkan harga yang tinggi."

Setelah menerima wang itu, mereka menjadi teruja. Keseronokan itu telah membuatkan saya berfikir, "apa yang perlu saya lakukan sekarang?"

Saya teringatkan cawangan bank yang terletak didalam kawasan kampus universiti saya dan saya telah pergi berjumpa pengurus bank tersebut lalu mencadangkan kepadanya supaya dia memberikan pinjaman kepada orang- orang miskin yang telah saya temui dikampung tersebut. Dia sangat terkejut!

Dia berkata, "awak sudah gila. Itu tidak mungkin boleh berlaku. Bagaimana boleh kami pinjamkan wang kepada orang-orang miskin? Mereka tidak boleh dipercayai untuk meminjam wang."

Saya merayu kepadanya dan berkata, "sekurang-kurangnya cubalah, untuk mengetahui – ia hanya satu jumlah wang yang kecil."

Dia berkata, "tidak. Peraturan-peraturan kami tidak membenarkannya. Mereka tidak boleh menawarkan sebarang cagaran dan jumlah yang sekecil itu tidak berbaloi untuk diberi pinjaman."

Dia mencadangkan supaya saya bertemu dengan pegawai-pegawai tinggi didalam hierarki perbankan Bangladesh. Saya menurut nasihatnya dan pergi bertemu dengan orang-orang penting didalam bahagian perbankan. Setiap daripada mereka menyatakan perkara yang sama kepada saya.

Akhirnya setelah ke sana dan ke mari untuk beberapa hari, saya menawarkan diri untuk menjadi penjamin.

"Saya akan menjamin pinjaman itu, saya akan tandatangani apa saja yang mereka ingin saya tandatangani dan mereka bolehlah memberi wang itu kepada saya dan saya akan memberinya kepada orang-orang yang saya ingin beri."

Jadi itulah permulaannya. Mereka berkali-kali memberikan peringatan kepada saya bahawa orang-orang miskin yang menerima wang tersebut tidak akan membayarnya kembali.

Saya berkata, "saya akan menerima risikonya".

Dan apa yang menjadi kejutan adalah, mereka membayar setiap sen kepada saya. Saya menjadi teruja dan datang kepada pengurus tersebut dan berkata, "lihat, mereka telah membayar kembali pinjaman itu, tidak ada masalah."

Tetapi dia berkata, "oh tidak, mereka hanya mempersenda- sendakan anda. Nanti mereka akan mengambil lebih banyak wang dan tidak membayarnya kembali kepada anda."

Jadi saya memberi mereka lebih banyak wang dan mereka membayarnya kembali kepada saya. Saya memberitahu kepada pengurus tersebut, tetapi dia pula berkata, "mungkin anda boleh melakukannya dengan sebuah kampung, tetapi jika anda lakukan dengan dua buah kampung ia tidak akan berjaya."

Saya dengan cepat melakukannya dengan dua buah kampung dan ia berjaya. Ia menjadi seperti satu pergelutan di antara saya dengan pengurus bank tersebut dan rakan-rakan sekerjanya yang berkedudukan tinggi.

Mereka tetap menyatakan dengan jumlah yang lebih besar, mungkin 5 buah kampung, perbuatan tidak membayar hutang akan dipertontonkan. Jadi saya melakukan dengan lima buah kampung dan ia menunjukkan mereka membayar balik pinjaman tersebut. Mereka masih tidak mahu mengalah.

Mereka berkata, "sepuluh kampung, lima puluh kampung, seratus kampung."

Dan ia menjadi seperti suatu pertandingan diantara saya dengan mereka. Saya mendapat hasil yang tidak boleh mereka nafikan kerana wang yang saya pinjamkan adalah milik saya, tetapi mereka tidak dapat menerimanya kerana mereka telah dilatih untuk mempercayai orang-orang miskin tidak boleh dipercayai.

Saya bernasib baik kerana tidak dilatih dengan cara sedemikian dan dengan itu saya boleh mempercayai apa saja yang saya saksikan, apabila ia menjelmakan dirinya. Tetapi dengan pemikiran pegawai-pegawai bank tersebut, mata mereka telah dibutakan oleh ilmu yang mereka ada.

Akhir sekali saya berfikir, kenapa perlu saya cuba untuk meyakinkan mereka? Saya mempunyai penuh keyakinan bahawa orang-orang miskin akan meminjam wang dan membayarnya kembali. Mengapakah kita tidak menubuhkan bank yang berasingan?

Itu membuatkan saya merasa sangat teruja dan saya menulis satu kertas cadangan dan memohon kepada kerajaan untuk mendapatkan kebenaran bagi menubuhkan sebuah bank. Saya telah mengambil masa selama dua tahun untuk meyakinkan pihak kerajaan.

Pada 2 haribulan Oktober tahun 1983, kami menubuhkan sebuah bank – sebuah bank yang rasmi dan bebas. Dan ia menjadi suatu keseronokan buat kami, sekarang kami mempunyai sebuah bank dan kami boleh mengembangkannya bila-bila masa sahaja. Dan kami sememangnya berkembang.

Monday, April 14, 2008

Jalan Rata Untuk Berjaya

Di pagi hari buta, kelihatan seorang pemuda dengan bungkusan kain berisi bekal di pinggangnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke puncak gunung yang terkenal. Kononnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah layaknya berada di syurga. Sesampai di lereng gunung, terlihat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang lelaki tua.

Setelah menyapa pemilik rumah, pemuda mengutarakan maksudnya "Tok, saya ingin mendaki gunung ini. Tolong tok, tunjukkan jalan yang paling mudah untuk sampai ke puncak gunung".

Si lelaki tua dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari ke hadapan pemuda.

"Ada 3 jalan menuju puncak, kamu boleh memilih sebelah kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Kalau saya memilih sebelah kiri?"

"Sebelah kiri melewati banyak kawasan berbatu."

Setelah bersalaman dan mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya. Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat kembali di depan pintu rumah si lelaki tua.

"Tok, saya tidak sanggup melewati kawasan berbatu. Jalan sebelah mana lagi yang harus aku lewati tok?"

Si lelaki tua dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya menjawab, "Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Jika aku memilih jalan sebelah kanan?"

"Sebelah kanan banyak semak berduri."

Setelah beristirahat sejenak, si pemuda berangkat kembali mendaki. Selang beberapa jam kemudian, dia kembali lagi ke rumah si lelaki tua.

Dengan kelelahan si pemuda berkata, "Tok, aku sungguh-sungguh ingin mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah aku tempuh, rasanya aku tetap berputar-putar di tempat yang sama sehingga aku tidak berjaya mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan harus kembali ke mari tanpa hasil yang kuinginkan, tolong tok tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar aku berhasil mendaki hingga ke puncak gunung."

Si lelaki tua serius mendengarkan keluhan si pemuda, sambil menatap tajam dia berkata tegas *"Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan yang buntu pun harus kamu hadapi. Selagi keinginanmu untuk mencapai puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua halangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu seperti yang kamu inginkan! dan nikmatilah pemandangan yang luar biasa !!! Apakah kamu mengerti?"*

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan lelaki tua, sambil tersenyum gembira dia menjawab "Saya mengerti tok, saya mengerti! Terima kasih tok! Saya akan menghadapi selangkah demi selangkah setiap rintangan dan halangan yang ada! Tekad saya makin mantap untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini. *

Dengan senyum puas si lelaki tua berkata, "Anak muda, Aku percaya kamu pasti boleh mencapai puncak gunung itu! Selamat berjuang!!! *

MORAL KISAH INI:

Tidak ada jalan yang rata untuk berjaya!

Sama seperti analogi proses pencapaian mendaki gunung tadi. Untuk meraih kejayaan seperti yang kita inginkan, tidak ada jalan rata! tidak ada jalan pintas!

Ada ketikanya, rintangan, kesulitan dan kegagalan selalu datang menghalang. Kalau mental kita lemah, takut halangan , tidak yakin pada diri sendiri, maka apa yang kita inginkan pasti akan kandas ditengah jalan.

Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, mempunyai komitmen untuk tetap berjuang, barulah kita boleh menapak di puncak kejayaan.

Kemujuran Atau Kemalangan?

Ada sebuah cerita Cina kuno tentang seorang lelaki tua yang sikapnya dalam memandang kehidupan berbeza sama sekali dengan orang-orang lain di desanya.

Rupanya laki-laki tua ini hanya mempunyai seekor kuda, dan pada suatu hari kudanya hilang. Para jirannya datang dan menaruh belas kasihan kepadanya, mengatakan kepadanya betapa mereka ikut sedih kerana kemalangan yang menimpanya.

Jawabannya membuat mereka hairan.

"Tapi bagaimana kalian tahu itu kemalangan?" dia bertanya.

Beberapa hari kemudian kudanya pulang, dan ikut bersamanya dua ekor kuda liar. Sekarang si laki-laki tua punya tiga ekor kuda. Kali ini, para jirannya mengucapkan selamat atas kemujurannya.

"Tapi bagaimana kalian tahu itu kemujuran?" dia menjawab.

Pada hari berikutnya, sementara sedang berusaha menjinakkan salah seekor kuda liar, anak lelakinya jatuh dan kakinya patah.

Sekali lagi, para jiran datang, kali ini untuk menghibur si laki-laki tua kerana kecelakaan yang menimpa anaknya.

"Tapi bagaimana kalian tahu itu kemalangan?" dia bertanya.

Kali ini, semua tetangganya menarik kesimpulan bahawa fikiran si tua ini kacau dan tidak ingin lagi berurusan dengannya.

Walaupun demikian, keesokan harinya penguasa perang datang ke desa dan mengambil semua lelaki yang sihat untuk dibawa ke medan pertempuran. Tetapi anak si lelaki tua tidak ikut diambil, sebab tubuhnya tidak sihat!

MORAL KISAH INI:

Kita semua akan menghayati kehidupan yang lebih tenang jika kita tidak terlalu tergesa-gesa memberikan penilaian kepada peristiwa yang terjadi. Bahkan apa yang paling kita benci, dan yang masih menimbulkan reaksi negatif kalau terfikirkan oleh kita, mungkin memainkan peranan positif dalam hidup kita

Sang Alkemi

Pernahkah anda mendengar istilah Alkemi? Alkemi dikenali sebagai sebuah ilmu yang mampu mengubah besi menjadi emas. Dalam banyak-banyak kisah, beberapa orang menganggapnya sebagai sebuah sihir belaka, tetapi yang lain percaya bahawa ilmu itu benar-benar ada. Dan, siapa yang tak tergiur untuk boleh menguasai ilmu alkemi? Hanya dengan kemampuan alkemi, ia boleh mengubah besi menjadi emas dan tentu menjadi kaya-raya.

Alkisah, di sebuah negara di Timur ada seorang Raja yang hendak mencari orang yang benar-benar mengerti tentang alkemi. Sudah banyak orang datang pada Raja, tetapi ketika diuji, mereka ternyata tidak mampu mengubah besi menjadi emas.

Suatu ketika seorang menteri berkata pada Raja bahawa di sebuah desa terdapat seseorang yang hidup sederhana dan bersahaja. Orang-orang di sana mengatakan bahwa ia menguasai ilmu alkemi. Segera saja Raja mengirimkan utusan untuk memanggil orang itu. Sesampainya di istana, Raja mengutarakan maksudnya ingin mempelajari ilmu alkemi. Raja akan memberikan apa yang diminta oleh orang itu.

Tetapi apa jawab orang desa itu, "Tidak. Saya tidak mengetahui sedikit pun ilmu yang Baginda maksudkan."

Raja berkata, "Setiap orang memberitahu aku bahawa engkau mengetahui ilmu itu."

"Tidak, Baginda," jawabnya berkeras. "Baginda mendapatkan orang yang keliru."

Raja mulai murka dan mengancam.

"Dengarkan baik-baik!" kata Raja. "Bila kau tak mau mengajariku ilmu itu, aku akan memenjarakanmu seumur hidup."

"Apa pun yang Baginda hendak lakukan, lakukanlah. Baginda mendapatkan orang yang keliru"

"Baiklah. Aku memberimu waktu enam minggu untuk memikirkannya. Dan, selama itu kau akan dipenjara. Jika pada akhir minggu ke enam kau masih berkeras hati, aku akan memenggal kepalamu."

Akhirnya orang itu dimasukkan ke dalam penjara. Setiap pagi Raja datang ke penjara dan bertanya, "Apakah kau telah berubah fikiran? Maukah kau mengajariku alkemi? Kematianmu sudah dekat, berhati-hatilah. Ajarkan aku pengetahuan itu."

Orang itu selalu menjawab, "Tidak Baginda. Carilah orang lain. Carilah orang lain yang memiliki apa yang Baginda inginkan, saya bukanlah orang yang Baginda cari."

Setiap malam ada seorang pelayan yang melayani orang itu dalam penjara.

Pelayan itu berkata bahwa Raja mengirimnya untuk melayani orang itu sebaik-baiknya. Pelayan itu menyapu lantai serta membersihkan ruangan penjara itu. Pelayan itu juga selalu menghantarkan makanan dan minuman untuk orang itu, memberikan simpati kepadanya, melakukan apa saja yang diminta oleh orang itu, dan bekerja apa saja selayaknya seorang pelayan.

Pelayan itu selalu menanyakan, "Apakah anda sakit? Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk anda? Apakah anda lelah? Bolehkah saya membersihkan tempat tidur anda? Mahukah anda bila saya mengipaskan anda hingga anda tertidur, udara di sini panas sekali."

Dan, segala sesuatu yang pelayan itu boleh lakukan, maka ia lakukan saat itu juga.

Hari terus belalu. Dan, kini tinggal satu hari lagi sebelum kepala orang itu dipenggal.

Pagi hari Raja mengunjungi dan berkata, "Waktumu tinggal sehari. Ini kesempatan bagimu untuk menyelamatkan nyawamu sendiri."

Tetapi orang itu tetap saja berkata, "Tidak Baginda. Yang Baginda cari bukanlah hamba."

Pada malam hari, sebagaimana biasa pelayan itu datang. Orang itu memanggil pelayan itu untuk duduk dekat dirinya kemudian diletakkan tangannya di bahu pelayan itu dan berkata, "Wahai orang yang malang. Wahai pelayan yang malang. Engkau telah berlaku sunguh baik terhadap diriku. Kini aku akan membisikkan di telingamu sebuah kata tentang alkemi. Sebuah kata yang akan membuatmu mampu mengubah besi menjadi emas."

Pelayan itu berkata, "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan dengan alkemi. Saya hanya ingin melayani anda. Saya sungguh sedih bahawa besok anda akan dihukum mati. Itu sungguh mengoyak hatiku. Saya harap saya boleh memberikan jiwa saya untuk menyelamatkan anda. Seandainya saya boleh, sungguh saya sangat bersyukur."

Sang alkemi menjawab, "Lebih baik aku mati daripada memberikan ilmu alkemi ini kepada orang yang tidak layak menerimanya. Ilmu yang baru saja aku berikan kepadamu dalam simpati, dalam penghargaan, dan dalam cinta, tak akan kuberikan kepada Raja yang akan mengambil nyawaku besok. Mengapa demikian? Karena engkau patut menerimanya, sedangkan Raja itu tidak."

Esok harinya, Raja memanggil sang alkemi dan memberikan peringatan terakhir.

"Ini adalah kesempatan terakhirmu. Kau harus mengajarku ilmu alkemi, jika tidak lehermu harus dipenggal."

Sang alkemi menjawab, "Tidak Baginda, anda mendapatkan orang yang keliru."

Raja pun, "Baiklah. Aku putuskan kau untuk bebas, kerana kau telah memberikan alkemi itu padaku."

Sang alkemi keheranan, "Kepadamu? Saya tidak memberikannya pada Baginda Raja. Saya telah memberikannya pada seorang pelayan."

"Tahukah kau, bahawa orang yang melayanimu setiap malam adalah aku," jawab sang Raja.

Renungan Editor:

Banyak orang menginginkan emas dalam hidupnya dengan mempelajari alkemi. Tetapi saat ia mencapai tujuannya, bukan emas yang ia temukan, justeru ia sendiri menjadi emas itu.

Diadaptasi dari: Hazrat Inayat Khan

Sumber: Spiritual Dimensions of Psychology

Sungai Di Padang Pasir

Dari mata airnya yang nun jauh di atas gunung, sebatang sungai mengalir melewati segala halangan di tebing dan akhirnya sampai ke sebuah padang pasir. Selama ini ia telah berjaya mengatasi seluruh halangan dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera lenyap ditelan pasir.

Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak boleh mengatasi masalahnya

Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin boleh menyeberangi pasir, Sungai pun boleh."

Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cuba menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap: angin boleh terbang, dan oleh sebab itulah ia boleh menyeberangi padang pasir.

"Dengan menyeberang seperti yang kau lakukan itu, jelas kau tak akan berjaya. Kau hanya akan lenyap atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilakan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ke tempat tujuan."

Tetapi bagaimana caranya?

"Dengan membiarkan dirimu diserap oleh angin."

Gagasan itu tidak boleh diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah terserap. Ia tidak mahu kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah boleh dipastikan dirinya akan muncul kembali?

"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas seperti itu. Ia membawa air, membawanya terbang menyeberangi padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma sungai."

"Bagaimana aku boleh yakin bahawa itu benar?"

"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun malah berpuluh-puluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?"

"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama seperti keadaanku kini?"

"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan boleh sentiasa berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian intimu dibawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."

Mendengar hal itu, dalam fikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bahagian dirinya? --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar demikiankah? bahawa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.

Dan sungai itu pun membubungkan wapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan kerana pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini boleh mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."

Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke gunung."

Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di atas Pasir.

Catatan

Kisah indah ini masih beredar dalam tradisi lisan dalam pelbagai bahasa, hampir selalu terdengar di kalangan para darwis dan murid-muridnya.

Kisah ini dicantumkan oleh Sir Fairfax Cartwright dalam bukunya, Mystic Rose from the Garden of the King 'Mawar Mistik dari Taman Raja' terbit tahun 1899. Versi ini berasal dari Awad Afifi, orang Tunisia, yang meninggal tahun 1870.

Jejak Langkah-langkah Anda

Banyak orang masuk ke dalam kehidupan kita, satu demi satu datang dan pergi silih berganti. Ada yang tinggal untuk sementara waktu dan meninggalkan jejak-jejak di dalam hati kita dan tak sedikit yang membuat diri kita berubah.

Alkisah seorang tukang lentera di sebuah desa kecil, setiap petang lelaki tua ini berkeliling membawa sebuah tongkat obor penyuluh lentera dan memikul sebuah tangga kecil. Dia berjalan mengelilingi desa menuju ke tiang lentera dan menyandarkan tangganya pada tiang lentera, naik dan menyuluh sumbu dalam kotak kaca lentera itu hingga menyala lalu turun, kemudian dia pikul tangganya lagi dan berjalan menuju tiang lentera berikutnya. Begitu seterusnya dari satu tiang ke tiang berikutnya, makin jauh lelaki tua itu berjalan dan makin jauh dari pandangan kita hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam. Namun demikian, bagi siapa pun yang melihatnya akan selalu tahu kemana arah perginya pak tua itu dari lentera-lentera yang dinyalakannya.

Penghargaan tertinggi adalah menjalani kehidupan sedemikian rupa sehingga mendapatkan ucapan: “Saya selalu tahu kemana arah perginya dari jejak-jejak yang ditinggalkannya. ”

Seperti halnya perjalanan si lelaki tua dari satu lentera ke lentera berikutnya, kemana pun kita pergi akan meninggalkan jejak. Tujuan yang jelas dan besarnya rasa tanggung jawab kita adalah jejak-jejak yang ingin diikuti oleh putera puteri kita dan dalam prosesnya akan membuat orang tua kita bangga akan jejak yang pernah mereka tinggalkan bagi kita.

Tinggalkanlah jejak yang bermakna, maka bukan saja kehidupan anda yang akan menjadi lebih baik tapi juga kehidupan mereka yang mengikutinya.

Emas Atau Loyang

Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang termasyhur bernama Zun-Nun.

Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, "Guru, saya belum faham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian seadanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman ini berpakaian cantik amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak hal lain."

Sang sufi hanya tersenyum, dia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Orang muda, akan ku jawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cubalah, bolehkah kamu menjualnya dengan harga satu keping emas."

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini boleh dijual seharga itu."

"Cubalah dulu orang muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Dia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada pedagang-pedagang yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli dengan harga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak.

Ia kembali berjumpa Zun-Nun dan melaporkan, "Guru, tak seorang pun yang berani menawarkan lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke kedai emas di belakang jalan ini. Cuba tunjukkan kepada pemilik kedai atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana dia memberikan penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke kedai emas yang dimaksudkan. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melaporkan, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sebenarnya cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil menerangkan, "Itulah jawapan atas pertanyaanmu tadi wahai orang muda. Seseorang tak boleh dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas". Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya boleh dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke dalam jiwanya, diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu memerlukan usaha dan masa wahai orang mudaku. Kita tak boleh menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

Daun Di Musim Luruh

Pada suatu pagi hari di sebuah musim luruh, seorang anak bekerja menyapu halaman luar sebuah asrama. Pohon-pohon yang rendang di sekitar situ berguguran daunnya. Walaupun bekerja dengan rajin dan teliti menyapu dedaun yang gugur, halaman masih dikotori dengan ranting dan daun.

"Aduh penatnya. Biarpun menyapu dengan tekun setiap hari tentu saja esok kotor lagi. Bagaimana caranya ya supaya aku tidak harus bekerja terlalu keras setiap hari?" sambil masih memegang penyapu, si anak sibuk memutar otak memikirkan cara yang terbaik.

Warden asrama yang melintas di situ menghampiri dan menyapa, "Selamat pagi Anakku, kenapa kamu mengelamun? Apakah yang sedang kamu fikirkan?"

"Eh, selamat pagi Pakcik. Saya sedang berfikir mencari jalan supaya halaman ini tetap bersih tanpa harus menyapunya setiap hari. Dengan begitu kan saya boleh mengerjakan yang lain dan tidak harus selalu menyapu seperti sekarang ini."

Sambil tersenyum si warden asrama menjawab, "Bagaimana kalau kamu cuba menggoyangkan setiap pohon agar daunnya jatuh lebih banyak. Siapa tahu, dengan lebih banyak daun yang gugur, paling tidak besok daunnya tidak mengotori halaman dan kamu tidak perlu menyapu."

"Wah idea Pakcik hebat sekali!" segera dia berlari ke batang pohon dan menggoyang-goyangkan sekuat tenaga. Semua pohon diperlakukan sama, dengan harapan, setidaknya besok dia tidak perlu menyapu lagi.

"Boleh berehat satu hari tidak bekerja," katanya dalam hati dengan gembira.

Malam hari si anak pun tidur dengan nyenyak dan puas. Ketika bangun keesokan harinya, cepat-cepat dia berlari keluar kamar. Seketika harapannya berubah kecewa apabila melihat halaman yang bersih kembali dipenuhi dengan daun-daun.

Saat itu pula si warden sedang ada di luar dan memperhatikan tingkahlakunya sambil berkata, "Anakku, musim gugur adalah fenomena alam. Bagaimanapun kamu hari ini bekerja keras menyapu daun- daun yang gugur, esok hari akan tetap ada daun-daun yang gugur untuk di bersihkan. Kita tidak boleh mengubah alam supaya sesuai dengan kemahuan kita. Daun yang harus gugur, tidak boleh ditahan atau dipaksa gugur. Maka jangan kecewa kerana harus bekerja setiap hari. Nikmati pekerjaanmu dengan hati yang senang, setuju?" kata si warden asrama memberikan sebuah pelajaran hidup yang begitu bererti.

"Setuju pakcik. Terima kasih atas pelajarannya, " segera dia berlari menghampiri penyapunya.

MORAL KISAH INI:

Pembaca yang budiman,

Kalau kita bekerja dengan keadaan hati yang tidak gembira, maka semua pekerjaan yang kita lakukan akan terasa berat dan mudah timbul perasaan bosan.

Pepatah mandarin mengatakan:

Jin tian de shi qing jin tian zuo, Ming tian hai you xin gong zuo. (Selesaikan pekerjaan hari ini dengan baik, esok masih ada pekerjaan baru yang harus diselesaikan).

Kalau kita telah mampu menikmati setiap pekerjaan dengan penuh kesedaran dan tanggungjawab, maka setiap hari ini pasti menjadi hari kerja yang membahagiakan dan setiap hari esok menjadi harapan yang diimpikan, sehingga kita boleh dengan bangga mengatakan bahawa bekerja adalah ibadah...

Sumber: Daun Di Musim Gugur oleh Andrie Wongso

Pawang Ular Dan Ular Sawa

Alkisah, seorang pawang ular ternama pergi ke sebuah daerah pergunungan untuk menangkap ular dengan kepakarannya. Saat itu, salji turun dengan sangat lebat. Pawang itu pun mencari ke setiap sudut gunung untuk menemukan ular yang besar. Setelah beberapa lama, akhirnya dia menemukan bangkai ular sawa yang sangat besar.

Pawang itu amat gembira dan dia ingin membanggakan hasil tangkapannya di hadapan seluruh penduduk kota. Dia membungkus ular sawa itu dan membawanya ke kota Baghdad untuk dipertontonkan. Turunlah dia dari gunung dengan menyeret ular sawa sebesar tiang istana. Dia sampai di kota dan segera menceritakan kehebatannya kepada setiap orang yang dia temui. Dia berkata bahawa dia telah bergomol dan berkelahi habis- habisan sampai ular sawa itu mati di tangannya.

Masalahnya, ternyata ular sawa itu tidak benar-benar mati. Ia hanya tertidur kerana kedinginan akibat salji yang sangat tebal. Si pawang tak mengetahui hal ini. Dia malah mengadakan pertunjukan untuk umum di tepian sungai Tigris. Berduyun-duyun orang datang dari seluruh penjuru kota untuk melihat pemandangan luar biasa; seekor ular sawa dari gunung yang mati di tangan seorang pawang ular.

Semua orang mempercayai cerita pawang ular itu dan mereka tak sabar ingin melihat binatang besar ini. Semakin banyak pengunjung, semakin besar pula pendapatan yang didapati oleh sang pawang. Oleh sebab itu, pawang itu menunggu lebih banyak orang yang datang sebelum dia membuka bungkusan ular sawanya. Dalam waktu singkat, tempat itu sesak dipenuhi para pengunjung. Sang pawang lalu mengeluarkan ular sawa itu dari kain wol yang membalutnya selama perjalanan dari gunung.

Meskipun ular sawa itu diikat kuat dengan besi, sinar matahari Irak yang terik telah menerpa bungkusan ular sawa itu selama beberapa jam, dan kehangatan itu mengalirkan kembali darah di tubuh ular. Perlahan- lahan, sang ular sawa terbangun dari tidurnya yang panjang. Begitu ular sawa itu bangun, ia segera meronta dari ikatan besi yang melilitnya. Para penonton menjerit ketakutan. Mereka bertempiaran lari ke berbagai arah dengan paniknya. Kini, ular sawa itu telah lepas dari ikatannya. Banyak orang terbunuh dan cedera kerana peristiwa ini.

Si pawang ular berdiri terpaku ketakutan. Ia menjerit-jerit, "Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Apa yang telah aku bawa dari gunung?"

Ular sawa lalu melahap sang pawang dalam sekali telan. Dengan cepat ia menyedut darahnya dan meremukkan tulang-tulangnya seperti ranting- ranting kering.

MORAL KISAH INI:

Ular sawa adalah lambang nafsu lahiriah. Bagaimana matinya ular itu?

Nafsu hanya dapat beku dengan penderitaan dan kekurangan. Berilah nafsu itu kekuatan dan hangatnya sinar matahari, maka ia akan terbangun. Biarkan ia beku dalam salju dan ia takkan pernah bergerak. Namun bila kau melepaskannya dari ikatan, ia akan melahapmu bulat-bulat. Ia akan meronta liar dan menelan semua hal yang ia temui. Kecuali kau sekuat Nabi Musa dengan tongkat mukjizatnya, ikatlah selalu nafsumu dalam lilitan keimanan.

Lompatan Si Belalang

Setiap orang yang berhasrat besar untuk menjadi manusia yang lebih baik perlu merenungkan kata-kata Stuart B. Johnson berikut ini:

“Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk mendahului orang lain, tetapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan rekor kita sendiri, dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari ini.”

Dalam era hiper kompetisi dewasa ini, bagaimana kita memahami kalimat yang demikian itu? Bukankah kita harus bersaing dengan orang lain, dengan siapa saja yang berusaha mengalahkan kita? Jika demikian cara berpikir kita, maka cerita yang dikirim seorang kawan berikut ini mungkin menarik untuk menjadi bahan renungan.

LOMPATAN SI BELALANG…. .

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi di antara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi ke sana.

Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?”

“Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,” jawab anjing dengan sombongnya.

Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi, “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita.”

“Baik,” jawab si anjing. “Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut.”

Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut tersebut. Kesempatan berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula.

Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata, “Nah, belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang? Kamu sudah kalah.”

“Belum,” jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua?”

“Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing.

Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, tapi diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya.”

Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum.

“Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing.

“Tidak perlu,” jawab si belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.” “Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri. Iya nggak sih?”

MORAL KISAH INI:

Cerita sederhana di atas pernah membuat saya malu pada diri sendiri. Ketika masih berumur awal 30-an tahun, betapa sering saya membanding- bandingkan diri saya dengan orang lain. Membandingkan antara profesi saya dengan profesi si Anu, antara pendapatan saya dan pendapatan si Banu, antara mobil saya dengan mobil si Canu, antara kesuksesan saya dengan kesuksesan si Danu, dan seterusnya. Hasilnya? Ada kalanya muncul perasaan- perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada diri sendiri, yang menganiaya rasa syukur atas kehidupan. Namun kala yang lain muncul juga semacam motivasi untuk bisa lebih maju dan berusaha lebih tekun agar bisa melampaui orang lain (pesaing?).

Belakangan, saya menemukan cara bersaing yang lebih cocok untuk diri sendiri. Saya mulai mengukur kemajuan saya tahun ini berdasarkan prestasi saya tahun kemarin. Saya tetapkan bahwa tahun ini saya harus lebih sehat dari tahun kemarin; pendapatan dan sumbangan tahun ini diupayakan lebih tinggi dari tahun lalu; pengetahuan yang disebarkan tahun ini ditingkatkan dari tahun silam; relasi dan tali silahturahmi juga direntangkan lebih lebar; kualitas ibadah diperdalam; perbuatan baik dipersering; dan seterusnya. Dengan cara ini, saya ternyata lebih mampu mengatasi penyakit-penyakit seperti iri hati, dengki, dan rasa kecewa pada diri. Berlomba untuk memecahkan rekor pribadi yang baru, melampaui rekor yang tercapai di masa lalu, ternyata menimbulkan keasyikan dan rasa syukur yang membahagiakan.

Mungkin benar kata orang bijak dulu: kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas hawa nafsu diri sendiri. Setujukah?

Sumber:

Memecahkan Rekor oleh Andrias Harefa.

Merasa Kebosanan?

Pada awalnya manusialah yang menciptakan kebiasaan. Namun lama kelamaan, kebiasaanlah yang menentukan tingkah laku manusia.

Ada seorang yang hidupnya amat miskin. Namun walaupun ia miskin ia tetap rajin membaca.

Suatu hari secara tak sengaja ia membaca sebuah buku kuno. Buku itu mengatakan bahawa di sebuah pantai tertentu ada sebuah batu yang hidup, yang boleh mengubah benda apa saja menjadi emas.

Setelah mempelajari isi buku itu dan memahami seluk-beluk batu tersebut, dia pun berangkat menuju pantai yang disebutkan dalam buku kuno itu.

Dikatakan dalam buku itu bahawa batu ajaib itu agak hangat bila dipegang, seperti halnya apabila kita menyentuh makhluk hidup lainnya.

Setiap hari pemuda itu memungut batu, merasakan suhu batu tersebut lalu membuangnya ke laut jika batu dalam genggamannya itu dingin saja.

Satu batu, dua batu, tiga batu dipungutnya dan dilemparkannya kembali ke dalam laut.

Satu hari, dua hari, satu minggu, setahun ia berada di pantai itu.

Kini menggenggam dan membuang batu telah menjadi kebiasaannya.

Suatu hari secara tak sedar, batu yang dicari itu tergenggam dalam tangannya. Namun kerana dia telah terbiasa membuang batu ke laut, maka batu ajaib itu pun terbang ke laut dalam.

Lelaki miskin itu meneruskan ‘permainannya’ memungut dan membuang batu. Ia kini lupa apa yang sedang dicarinya.

MORAL KISAH INI:

Sahabat, pernahkah kita merasakan kalau hidup ini hanyalah suatu rutin yang membosankan?

Dari kecil, kita sebenarnya sudah dapat merasakannya, kita harus bangun pagi-pagi untuk bersekolah, lalu pada siangnya kita pulang, mungkin sambil melakukan aktiviti lainnya, seperti belajar, menonton TV, tidur, lalu pada malamnya makan malam, kemudian tidur, keesokkan harinya kita kembali bangun pagi untuk bersekolah, dan melakukan aktiviti seperti hari kelmarin, hal itu berulang kali kita lakukan bertahun-tahun !!

Hingga akhirnya tiba saatnya untuk kita bekerja, tak jauh bezanya dengan bersekolah, kita harus bangun pagi- pagi untuk berangkat ke pejabat, lalu pulang pada petang/malam harinya, kemudian kita tidur, keesokan harinya kita harus kembali bekerja lagi, dan melakukan aktiviti yang sama seperti kelmarin, sampai bila?

Pernahkah kita merasa bosan dengan aktiviti hidup kita?

Kalau ada di antara teman-temanku ada yang merasakan demikian, dengarkanlah nasihatku ini :

“Bila hidup ini cuma suatu rutin yang membosankan, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menemukan suatu nilai baru di sebalik setiap peristiwa kehidupan.”

Ertinya, jangan melihat aktiviti yang kita lakukan ini sebagai suatu kebiasaan atau rutin , kerana jika kita menganggap demikian, maka aktiviti kita akan amat sangat membosankan !!

Cubalah mengerti setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, mungkin kita akan menemukan suatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kita ketahui sebelumnya, “Setiap hari merupakan hadiah baru yang menyimpan sejuta erti.”