Monday, April 14, 2008

Sungai Di Padang Pasir

Dari mata airnya yang nun jauh di atas gunung, sebatang sungai mengalir melewati segala halangan di tebing dan akhirnya sampai ke sebuah padang pasir. Selama ini ia telah berjaya mengatasi seluruh halangan dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera lenyap ditelan pasir.

Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak boleh mengatasi masalahnya

Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin boleh menyeberangi pasir, Sungai pun boleh."

Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cuba menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap: angin boleh terbang, dan oleh sebab itulah ia boleh menyeberangi padang pasir.

"Dengan menyeberang seperti yang kau lakukan itu, jelas kau tak akan berjaya. Kau hanya akan lenyap atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilakan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ke tempat tujuan."

Tetapi bagaimana caranya?

"Dengan membiarkan dirimu diserap oleh angin."

Gagasan itu tidak boleh diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah terserap. Ia tidak mahu kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah boleh dipastikan dirinya akan muncul kembali?

"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas seperti itu. Ia membawa air, membawanya terbang menyeberangi padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma sungai."

"Bagaimana aku boleh yakin bahawa itu benar?"

"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun malah berpuluh-puluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?"

"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama seperti keadaanku kini?"

"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan boleh sentiasa berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian intimu dibawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."

Mendengar hal itu, dalam fikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bahagian dirinya? --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar demikiankah? bahawa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.

Dan sungai itu pun membubungkan wapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan kerana pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini boleh mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."

Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke gunung."

Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di atas Pasir.

Catatan

Kisah indah ini masih beredar dalam tradisi lisan dalam pelbagai bahasa, hampir selalu terdengar di kalangan para darwis dan murid-muridnya.

Kisah ini dicantumkan oleh Sir Fairfax Cartwright dalam bukunya, Mystic Rose from the Garden of the King 'Mawar Mistik dari Taman Raja' terbit tahun 1899. Versi ini berasal dari Awad Afifi, orang Tunisia, yang meninggal tahun 1870.

No comments: